(Berat sekali, tidak kuat aku keliatannya karena aku belum makan dari pagi)
"yowes ayo mangan sek," ajak pencuri lainnya.
(yaudah ayo makan dulu)
Melihat ada magiccom dengan cukup banyak nasi didalamnya, mereka langsung saja menggasaknya tanpa tersisa. Mungkin biar seperti Arsene Lupin si pencuri Jatmika yang selalu meninggalkan jejak dan teka-teki dalam aksinya, para pencuri gabah ini sengaja meninggalkan kertas minyak yang digunakan untuk alas makan di TKP. Setelah dirasa kenyang dan kekuatan telah terkumpul, satu per satu sak berisi gabah berhasil diangkut sekaligus dicuri dengan jumlah 6/7 sak.
Keesokan harinya pemilik warung curiga ada bekas sisa makanan, setelah melihat kearah tempat gabah disimpan ia menyadari beberapa sak telah hilang dan segera melapor ke polisi dan tetangga. Nah beberapa hari kemudian teman saya pun bercerita ke saya tentang kejadian itu. Setelah diceritakan saya hanya bisa geleng-geleng dan mbatin, "Bangsat, pencuri macam apa yang masih sempat-sempatnya makan saat melancarkan aksinya". Hal lain yang membuat saya tak bisa berhenti tertawa, kotak amal berisi uang cukup banyak yang ada didalam warung masih utuh tak tersentuh. Tapi mungkin saja malingnya mikir bukan hak kita atau takut kualat.
Kedua, Pencuri Gabah di Pasar Desa
Tak kalah santai dengan pencuri yang awal, kejadiannya di daerah desa Ringin Putih kabupaten Ponorogo. Waktu itu pasar didaerah pabrik mengadakan pasaran pahing, biasanya pasaran disekitat rumah nenek saya dilakukan setiap pahing dan kliwon. Seluruh penjual di desa berkumpul menjual dagangannya tak terkecuali ibu pembeli gabah sebut saja bu Sum. Nah blio berprofesi sebagai pembeli gabah dari petani desa yang hendak menjual hasil panennya. Jadi cara transaksinya Bu Sum biasanya membawa timbangan untuk menentukan berapa berat gabah warga sehingga blio dapat menentukan harga beli, di desa saya hal itu sering disebut dengan istilah "anting".
Hari mulai siang sebagian para pedagang pasar telah pulang karena dagangannya sudah habis. Namun melihat pasar masih ramai bu Sum memutuskan pulang dulu untuk mengambil sesuatu dan meninggalkan timbangan serta gabah yang ia beli dari petani. Disudut lain ternyata ada pickup hitam yang telah memantau gerak-gerik blio dari pagi. Setelah dirasa aman dan bu Sum telah pergi, para pencuri pun melancarkan aksinya di siang bolong. Walau suasana pasar masih ramai para pencuri dengan pede-nya mengangkati gabah yang bukan miliknya ke belakang colt yang dinaikinya. Gabah-gabah itu mungkin oleh para pencuri dianggap seperti anak sendiri sehingga saat maling mereka tak sedikitpun takut dan dicurigai oleh pedagang lain, mungkin orang-orang pasar juga mengira mereka adalah suruhan bu Sum untuk mengangkati gabahnya. Tapi perlu kita ingat tak semua pencurian itu berjalan dengan mulus bahkan bisa juga gagal. Entah blio naik awan kinton atau sajadah aladin, mendadak Bu Sum telah kembali ke pasar sebelum para pencuri selesai meletakkan semua gabah. Sontak bu Sum teriak maling-maling karena melihat ada yang mengangkat gabah blio, sekejap masyarakat yang ingin menghakimi maling itu berkumpul untuk segera mengroyok para pencuri itu. Lagi-lagi maling yang jadi sopir dengan santainya berdalih kalo ini salah paham.
"Ngapunten buk kulo kinten niki gabah nggene bu Siti," maling itu beralibi agar menghindari amukan masa
(Maaf bu saya kira ini padi punya bu Siti)
"Wo uduk muas iki nek ku," Bu Sumi membela diri
(Wo bukan mas ini punyaku)