Tadinya saya sempat berpikir untuk mengajar daring saat di kereta, biar tampak seperti eksekutif muda yang sibuk. Namun, saya urungkan niat itu mengingat jika saya mengajar, suara saya benar-benar setereo. Khawatirnya para penumpang lain akan protes dan minta saya turun, hiks.
Akhirnya, jadilah saya menulis artikel ini. Tulisan ini mengenai berkat atau bawaan  berupa makanan selepas kenduri. Iya, saya sedang dalam perjalanan pulang kembali ke kota asal setelah menghadiri kenduri tahlilan 100 hari wafat ayah saya.
Biasanya, berkat berisi nasi dan lauk pauk. Berkat ini dibawa pulang oleh bapak-bapak yang berangkat tahlilan di rumah siempunya hajat. Di tempat hajat, Â bapak-bapak ini sudah disuguhi dengan makanan dan minuman. Jadi, berkat ini bisa dibawa pulang. Yang biasanya akan ditunggu oleh seisi rumah. Termasuk saya, ketika kecil, Â saya merasa jika berkat yang dibawa pulang ayah saya itu berasa sedap sekali. Apakah karena sudah didoakan? Atau karena saya memang sedang lapar? Eh.
 Ibu saya bercerita jika berkat harus benar-benar disiapkan agar menjadi berkat. Oh ya? Iya, jadi berkat ini harus dipastikan OK  baik kualitas maupun kuantitas agar bisa menjadi berkat. Saya makin bingung. Intinya beliau cuma mengatakan bahwa berkat sebaiknya dipersiapkan dengan sebaik mungkin agar tidak jadi omongan tetangga.
Saya kemudian membayangkan ketika seseorang pulang dari yang empunya hajat sambil membawa berkat. Berkat ini akan diserbu istri dan anak-anaknya. Ketika tampilan dan rasa berkat ini OK, niscaya akan terdengar celotehan seperti, "wah..enak" atau "wah banyaakkk isinya", atau mungkin, "Sedeeeppp rasanya." Akhirnya berkat yang dibawa ini menjadi berkat sebab mendatangkan kebahagiaan bagi yang mendapatkannya.
Lain halnya jika berkat yang dibawa tidak terlalu OK. Yang terdengar bisa jadi, "Duhh..nasinya keras banget, si", atau "Opo ikiii, daginge atosss (apa ini, dagingnya keras). Bahkan sering sekali terdengar, "Lauknya gini amat, ga pantes". Jadi bisa ditebak akhirnya. Berkat yang dibawa tidak menjadi berkat, tetapi cemoohan atawa laknat.
Bagi yang meyakini jika tahlil adalah ritual yang harus dilakukan untuk menghormati kerabat yang meninggal, perkara berkat untuk tahilan ini benar-benar menjadi bahan pemikiran. Saya membayangkan jika keluarga yang ditinggalkan bukan dari keluarga yang berkecukupan. Untuk menyelenggarakan tahlil saja sangat-sangat berat, apalagi memastikan berkat yang dibawa itu layak atau tidak. Hal ini tidak terjadi jika keluarga yang ditinggalkan memiliki dana berlebih untuk menyelenggarakan tahlil ini. Beras berkualitas, daging premium, telur asin masir, dan masakan lainnya tentunya akan dengan mudah disediakan.
Berkat dalam KBBI berarti karunia Tuhan yang membawa kebaikan dalam hidup manusia. Jadi, seharusnya berkat kenduri ini mendatangkan keberkahan baik bagi penyelenggara maupun yang menghadiri. Akan tetapi, perkara rasa dan kualitas ini menjadi dilematis. Bahkan, bisa menjadi bahan permusuhan di antara tetangga. Jadi, berkat dari rumah si X ini tidak enak, kemudian si Y yang merupakan emak-emak penanti berkat suaminya bercerita tentang berkat yang tidak enak ini ke tetangga-tetangga lain. Perghibahan pun dimulai. Hasilnya bisa ditebak. Perkara ini sampai di telinga si X. Duh, pecahlah perang dunia per-'emak'an.
Ah, masa iya semua buruk? Tentu tidak. Saya juga menyaksikan indahnya persaudaraan di antara warga. Ketika ada yang meninggal, emak-emak dengan sigap membantu keluarga yang ditinggalkan. Dengan senang hati ikut membantu,seperti memasak, menyiapkan makanan, beres-beres dan lain-lain. Di sela-sela mereka bekerja, sayup-sayup saya dengar, "Eh, Buuu... ini sambel goreng kentangnya enakkk, lah kemarin itu tho, di rumahnya bu Sumiii, welehhhh...wes atos ga ono rasaneee (udah keras, ga ada rasanya)" Seketika saya tarik nafas panjang dan mengelus dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H