Sayap Patah Gadis Pelukis Senja
Diantar Bang Raja, abang yang paling ganteng dan penyayang sedunia, aku duduk di bangku pantai, di pelataran vila warisan orang tua. Saat senja mulai menyapa, langit biru perlahan berganti lembayung.
Semilir angin nan lembut diiringi kicauan burung beranjak pulang menuju sarang.
Suasana ini selalu membuatku rindu dan tak pernah bosan untuk kembali lagi, dan lagi, setiap senja duduk di bangku yang sama.
Pantai yang menjadi tempat favoritku, memang selalu menawarkan keindahan, ketenangan dan kerinduan yang entah pada siapa.
Senja di pantai  selalu menjadi panorama indah, menjadi sumber inspirasi berbagai lukisanku. Iya, aku seorang pelukis,  lukisanku tampil   di berbagai evant.
Dalam tiap sudut lukisan, terukir namaku yang indah. Lembayung Senja.
Ah mungkin nama itu yang menjadi alasan, kenapa aku selalu menyukai senja. Meski hidupku selalu dalam jatuh bangun, namun, senja selalu berhasil membuatku bangkit dari keterpurukkan.
Aku tepekur, menyaksikan gelombang air laut mulai naik ke bibir pantai, kecipaknya  menjilati kakiku yang menjuntai, lunglai, berbalut rok putih panjang.
Aku ingin merasakan lagi sejuknya air yang menyentuh kulit kakiku. Ingin merasakan kerikil pantai melukai jemariku, atau kelomang dan kepiting merayap menggigit.
Ah! Hatiku pilu.
Anganku berlari menuju tiga tahun silam, di tempat yang sama, pantai yang sama, aku dan Satria, selalu bercengkerama dengan riang dan bahagia. Kekasih hati yang sangat baik dan setia, yang selalu membuat hidupku bahagia. Hingga suatu hari, sebuah kecelakaan mobil yang kami naiki merenggut keindahan kakiku yang jenjang, dan membawa kekasihku menuju keabadian. Setelahnya satu tahun berselang kedua orang tuaku mengalami nasib yang sama, meninggal dalam kecelakaan. Kini aku hidup bergantung pada abang semata wayang. Beruntung ia begitu menyayangiku, terus  mendukung dan selalu ada untukku. Sungguh  abang terbaik. Aku bersyukur  memilikinya.
"Hai gadis, apa kau sendirian? Boleh aku duduk?" Aku menoleh ke kanan, seorang pemuda kisaran tiga puluhan berwajah tampan tersenyum manis, seraya duduk di sampingku.
"Boleh," jawabku singkat.
Pemuda tersebut, rupanya sadar akan keberadaan lukisan di pangkuanku.
"Hei! Itu lukisanmu? Sungguh indah."
Pemuda yang akhirnya kutahu bernama Ivan ini  banyak berceloteh, mengagumi keindahan karyaku. Kami berdua mulai terlibat obrolan seru. Tak disangka, kami punya banyak sekali persamaan. Suka membaca, bermain musik, nonton film, bahkan minuman favorit yang sama. Sungguh lucu bukan? Semesta memang penuh misteri. Senja mulai beranjak, langit berwarna merah saga dan surya mulai tenggelam.
Tawa dan celoteh kami mereda, Ivan mengembuskan nafas perlahan.
"Senja! Kamu adalah gadis paling caantik yang pernah aku temui. Asyik dan  nyambung dalam banyak hal. Sepertinya ada camistry  antara kita, mungkinkah kamu wanita yang aku cari?" ucapnya,  terkesan gombal, namun tersirat sorot mata penuh kesungguhan.
Mendengarkan tutur lisan, Ivan, kurasakan pipiku menghangat, hatiku berbunga dan tumbuh seberkas cahaya harapan. Cahaya indah, seindah senja. Aku masih mendengarkan celotehnya yang manis, semanis gula-gula, namun di sisi hatiku terbesit rasa cemas yang menggulung bagai gelombang.
"Kamu mau menjadi pacarku?" Ivan bersimpuh di depanku, merengkuh kedua tanganku dalam genggamannya. Ada rasa haru dan duka menggenang di pelupuk mataku.