Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tangisan Pilu Pohon Kersen

19 November 2024   17:37 Diperbarui: 19 November 2024   18:00 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pohon kersen yang berbuah. Sumber gambar: bobo.grid.id

Cernak. Tangisan Pilu Pohon Kersen


Pagi hari nan sejuk, angin membuai para embun yang menggantung di pucuk-pucuk. Burung-burung pipit berkicau bercengkerama dengan fajar seraya menikmati buah-buahan kecil nan manis.  Di lapangan desa, tumbuh pohon kersen yang rindang dengan bunga dan buah yang banyak sekali. Keberadaannya sangat disukai berbagai hewan terlebih burung pipit. Bersama keluarganya, si burung pipit hampir setiap waktu bermain di atas dahan kersen. Sambil menari dengan sayap yang lincah, burung pipit berceloteh, "Hai! Pak Kersen. Buahmu sungguh manis dan harum. Terima kasih, pasti hari ini perutku juga keluargaku akan kenyang."

"Terima kasih Pipit! Aku bahagia mendengarnya. Di usiaku yang tua, buahku masih bermanfaat, ambillah sesuka hatimu," ucap pohon kersen dengan suara khasnya yang berat.

Sekelompok anak berangkat sekolah, ada yang jalan beramai-ramai, namun lebih banyak yang diantarkan orang tuanya menggunakan motor. Melihat anak-anak, senyuman pohon kersen pun terbit, ada harapan terbersit, bahwa sepulang sekolah, anak-anak itu bermain dengan riang di bawah teduh dedaunannya. 

Namun sampai siang berlalu, tidak satu pun anak-anak tertarik untuk bermain di bawah pohon kersen dan sekitarnya. Hingga beberapa hari telah berlalu.


 Cwit ... cwit ... cwit!

"Hai Pak Kersen, aku lihat murung sekali, ada apa denganmu, Pak? Buahmu tumbuh begitu lebat, seharusnya kau bahagia," ujar si burung pipit, sambil mengepakkan sayapnya dengan riang.

"Itulah alasanku  hari ini murung. Kamu lihat, Pipit? Buahku begitu lebat, setiap pagi aku jauhkan buahku yang merah dan segar, meski bentuknya kecil, tapi rasanya manis seperti madu. Namuuun ...!" Pak Kersen menjeda ucapannya dan menunduk semakin dalam, "Tak seorang anak pun mau bermain dan mengambil buahku yang banyak ini"

Air mata Pak Kersen yang sudah senja itu berurai.
"Kau tahu Pipit?" tanyanya kemudian, "Dulu, setiap musim bunga dan buahku tiba, anak-anak akan berebutan memanjatku, setelah bermain layang-layang, mereka akan beristirahat sambil menikmati buah-buahku yang manis. Aku bahagia sekali melihat mereka. Tidak jarang, mereka membawa buahku pulang ke rumah. Tapi sekarang ...!" Mata Pak Kersen menerawang,  "Mereka lebih suka bermain gadget di rumah masing-masing. Setelah aku tua dan tiada, apakah anak-anak itu akan tahu tentang aku?" tutur Pak Kersen penuh pilu.

Pipit dan merpati yang sedang bermain di dahan, merasa iba. Mereka berdua saling berpandangan. Merasa berempati akan kesedihan sahabat tuanya dan berpikir.

"Ahaaa ...! Kami punya ide, Pak Kersen. Semoga ide kami akan menarik perhatian  anak-anak dan mengembalikan harapanmu." ucap pipit antusias.

Pada hari Minggu, di mana anak-anak sedang liburan, pipit, merpati dan gereja bermain-main di atas dahan, satu sama lain telah sepakat akan bernyanyi seindah mungkin untuk menarik perhatian anak-anak.  Setelah lama menunggu, terdengar suara riuh anak-anak berlarian melewati mereka. Burung merpati, pipit dan gereja yang sudah siap sejak tadi, dengan sigap  bernyanyi-nyanyi mengeluarkan suara merdunya untuk menarik perhatian anak-anak.


Cwit ... cwit ..cwit!
Mbek Nur ... mbekur ...!
Chirp ... chirp, chirp ...!

Usaha para burung pun membuahkan  hasil.

"Hei, Teman-Teman. Lihat ada banyak burung." teriak seorang anak.
Rombongan anak laki-laki itu pun berbalik mendekat ke pohon kersen, mengambil batu dan melempari pohon untuk mengenai burung. Sementara Pak Tua Kersen menggoyangkan dahan-dahannya dengan binar gembira. Buah kecil merah berjatuhan agar perhatian anak beralih padanya. Namun anak-anak hanya fokus pada burung pipit dan kawan-kawannya yang terus terbang menghindari. Merasa diri mulai terancam, pipit, merpati dan gereja beserta kawanannya terbang menjauh dari pohon kersen. Sambil terbang, pipit berteriak, "Kami harus menghindar jauh dulu Pak Kersen, semoga sukses!"

"Sudah-sudah. Jangan lempari burung-burung itu! Kasihan, mereka juga pengen terbang bebas!" seru seorang anak bertopi, kepada kawan-kawannya. Matanya memperhatikan buah-buah merah berserakan. Buah merah kecil yang banyak dijatuhkan itu diambilnya beberapa buah, dan dimakan. Sementara Pak Kersen, masih terus menggoyangkan tubuhnya dan menjatuhkan buahnya lagi.

"Manis," pikirnya anak bertopi tersebut.
Dipungutnya lagi buah-buah kersen tersebut, dan dikumpulkan dalam plastik.

"Anto, kamu mau ikut main game bareng kita enggak? Ayo!" teriak salah satu temannya, yang tadi melempari burung

"Sebentaaar ...!" Anak itu bergerak cepat mengambil buah kersen sebanyak yang ia bisa. Lantas segera berdiri dan berlari mengejar kawan-kawan yang sudah mulai menjauh.

Senyum yang semula menghias di wajah Pak Kersen, seketika lenyap. Wajahnya kembali bersedih pilu.

Esok hari menjelang siang, seorang anak dengan kaos terlihat kumal dan membawa karung di punggungnya mendekat ke bawah pohon kersen. Dia mendongak ke atas.

"Ibu ...! Lihat buah kersen berbuah banyak. Aku mau, boleh ya, Bu?" pintanya penuh harap pada sang ibu yang berpenampilan tidak kalah kumal darinya.

"Iya boleh. Ibu juga capek." Sambil mengawasi anaknya yang riang di bawah pohon, sang ibu duduk pada pos gardu yang tersedia.
Dengan mata berbinar, anak sebelas tahun itu mengambil kayu panjang, untuk memukul ranting pohon, berusaha menjatuhkan buah-buahnya. Sementara Pak Kersen membantu dengan menggoyang dahan dan kepalanya agar buahnya berjatuhan lebih banyak lagi. Setelah puas dengan buah kersen, sang anak menghampiri ibunya dan menawarkan untuk memakan buah bersama. Puas makan kersen dan beristirahat, ibu dan anak pun bersiap untuk pergi.

"Ibu, besok kita ke sini lagi?" tanya anak itu riang.
"Enggak! Di sini sudah banyak pemulung. Tidak banyak rongsokan yang kita dapat di sini. Kita kembali ke tempat biasa," ucap sang ibu sambil melangkah pergi dengan gendongan karung di belakangnya. Si anak tertunduk lesu, namun  kakinya ia seret mengikuti sang ibu.

Pak Kersen yang sejak tadi bergembira, kembali bersedih, mendengar bahwa anak tadi tidak lagi datang untuk  esok hari dan seterusnya.

Hari-hari kembali dilalui dengan kesepian, hanya pipit dan burung gereja yang masih setia menemani. Tidak ada lagi anak-anak yang mau bermain di bawah pohon kersen. Pohon kersen yang rindang lebih sering dijadikan tempat istirahat para driver ojek online, setiap hari selalu ramai. Setiap hari pula Pak Kersen, menjatuhkan buah-buahnya, namun, tidak satu pun yang acuh dan tertarik.  Motor dan sepatu mereka kerap menginjak dan melindas buah-buah kersen yang kecil dan merah itu tanpa sisa.

***

Cerpen ini saya ikut sertakan dalam sayembara pulpen ke XXI 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun