Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta yang Direnggut

8 September 2024   05:51 Diperbarui: 8 September 2024   14:51 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bandung, Juli 2017

"Zahra, Aisy, Ali cepat...!  Kita ke masjid! Abi tunggu ya."

Aku baru saja selesai wudu. Rasa kantuk masih kuat bersemayam di pelupuk mataku. Namun, Abi sudah memberi aba-aba agar kami segera berangkat menuju masjid. Kami berjalan dengan langkah malas, hari masih gelap dan udara terasa begitu dingin, azan baru berkumandang. Namun meski demikian, bagi Abi, tidak ada toleransi untuk salat subuh. Pokoknya harus ke masjid berjamaah. Karena salat subuh itu lebih berharga dari dunia dan seisinya. Begitu kata Abi. Hanya Umi yang salat di rumah, karena sedang hamil tua. Aku lihat, Umi sudah sibuk dengan persiapan mengajarnya. Sebagai guru TK, banyak perkakas yang dipersiapkan.

Namaku Zahra anak kedua, usiaku sebelas tahun,  kelas enam SD. Aku punya cita-cita kuliah di Jepang. Karenanya, aku sudah aktif belajar bahasa jepang. Kata Abi, aku harus giat dan punya keyakinan bahwa cita-citaku akan tercapai.  Abi memang terbaik. Chichi wa saikdesu, Aishiteru.

Pagi itu akan pergi sekolah, aku segera pamit kepada Umi, yang juga akan berangkat ke TK. Aku segera berlari menuju Abi yang menunggu di atas motor bersama si kecil Ali, dan Aisy yang juga satu sekolah denganku. Bedanya Aisy masih kelas tiga dan aku kelas enam.

Perjalanan kami, baru keluar dari Komplek perumahan sederhana, tempat kami tinggal, menyusuri jalanan hotmix menuju jalan besar. Tiba-tiba sebuah mobil jeep membunyikan klakson dengan keras dan menghadang kami.

Tiiin ... tiiin ... tiiin!

Deg! Jantungku rasa tersentak.

"Astagfirullah .. !" teriak kami. Saking kagetnya, keseimbangan Abi oleng, hampir saja kami terjatuh. Segera motor Abi hentikan dan turun. Belum lagi hilang rasa shock kami, tiga orang berpakaian  hitam, keluar dari mobil jeep tersebut. Satu orang dengan cepat membekuk Abi dan dua orang lainnya menodongkan senjata. Persis seperti adegan dalam film laga.

"Aaabiiii ...!" Kami bertiga histeris, aku bingung dan kalut, tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Rasa takut menghantam diri ini. Kedua adikku riuh dalam tangisan, air mataku pun bercucuran.

"Abiiii ...!" Ketiga orang berseragam hitam tak membiarkan kami menyentuh Abi sedikit pun. Mereka menggelandang Abi ke dalam mobil, tanpa kata, tanpa pesan dan tanpa aba-aba.

"Zahraaa ... segera pulang Zahra, jaga adik-adikmu!" Suara teriakan pilu Abi lenyap ditelan deru mobil misterius yang membawanya pergi.

Aku terdiam mengigil, ada rasa takut,  sakit hati yang begitu dalam, kecewa dan kebencian  kuat penghantam di hati yang entah kutunjukkan kepada siapa. Air mataku semakin deras berkejaran di kedua pipi.

"Teteh,  Abiiiii ...! Abiiii ...!" Aisy dan Ali menangis histeris dan mengembalikan kesadaranku. Dengan cepat aku mencabut kunci motor yang masih tergantung dan menitipkan motor pada kerabat terdekat. Kugandeng tangan kedua adikku, berlari tertatih secepat yang kami bisa menuju TK di mana Umi mengajar.

Tiba di pintu gerbang TK, aku berteriak, "Umiiii ... Abi,  Umiii ...! Suaraku tercekat.

Sementara kedua adikku semakin histeris. Melihat kondisi kami bertiga, Umi pun ikut menangis pilu. Mungkin ia telah merasakan firasat buruk.

"Um ... Umi, Abi dibawa, sama tiga orang preman, bawa ... bawa pistol." Patah-patah aku ceritakan peristiwa na'as pagi ini.

"Zahra, jaga adik-adikmu. Tetap di sini sampai Umi, kembali. Tanpa banyak bicara lagi. Umi pergi, entah pulang ke rumah atau ke mana aku tidak paham. Yang pasti, rasa takut, cemas dan sakit hati masih kuat bersarang di dada ini. Masih dengan deraian air mata, kupeluk kedua adikku. Kuberi mereka minum agar lebih tenang. Kami tak lagi  berbicara apapun, hanya sedu sedan yang kami rasakan.

Tepat setelah salat zuhur, aku membawa kedua adik pulang. Karena lokasi rumah juga tak jauh. Pemandangan mengerikan kami lihat. Halaman rumah begitu semrawut, buku-buku milik Abi rusak berserakan di tanah, bubuk-bubuk putih yang kutahu tepung  bertebaran. Lebih dari dua belas orang berseragam hitam bersenjata,  memenuhi halaman. Bebrapa orang mengobrak-abrik isi rumah.

"Umiiii...!" Kami berteriak histeris. Namun tangan ringkih milik  Abah dan Nini, menahan kami yang hendak berlari menemui Umi.

"Zahra, kalian di rumah Ni sama Abah aja ya. Umi lagi ada tamu." Nini berucap sambil berurai air mata. Terpaksa kami ikut Nini ke sebelah. Namun Ali berlari dan histeris menuju Umi, berteriak dan marah. Kondisinya yang sedang tantrum tidak bisa ditenangkan, mungkin Ali merasa sangat terganggu dengan kehadiran para tamu tak diundang itu. Setelah suasana kondusif, kami berkumpul di ruang tengah, tempat biasa kami berkumpul bercengkerama bersama Abi. Rumah menjadi sangat berantakan.

"Ada apa  Neng? Di mana si Abi sekarang?" Nini bertanya dengan suara bergetar. "Neng teu terang, Mah!  Untungnya, setelah Zahra ngabarin soal Abi, Neng langsung pulang ke rumah. Neng amankan semua simpanan uang, uang gaji para guru TK, uang infak para donatur, ATM dan semua barang berharga. Entah kenapa firasat Neng, harus bergerak cepat. Neng langsung simpan di bank semua uang. Tapi uang simpanan Abi di lemari pakaian, Neng lupa. Dan sekarang udah ga ada."

"Apa ada yang hilang?" Nini kembali bertanya.  Umi mengangguk lesu.

***
Sejak Abi pergi, aku terpaksa harus menjadi dewasa sebelum waktunya. Mengasuh ketiga adikku, kasihan sekali si bungsu, yang lahir tanpa kehadiran abinya. Selain itu aku harus membantu Umi mengajar pagi dan sore. Jarang bermain dan bahkan berhenti sekolah, setelah lulus SD. Hal terakhir ini yang paling menyakitkan. Cita-citaku berantakan.

Aku lelah harus berusaha tegar, aku juga ingin seperti mereka yang bisa bercengkerama dan mengadu pada ayahnya. "Aku lelah, aku sedih. Aku rindu Abi, aku rindu Abi ...," ratapku seorang diri.
Alih-alih menjadi anak yang tegar, malah aku jadi si pemberontak, kerap mengabaikan semua perintah dan petuah Umi. Aku ingin menggugat, menolak takdir, rasanya ini sangat berat.

***
Bandung Agustus 2022.

Kami sedang ngobrol santai di ruangan sederhana, tempat kami berkumpul. Kami semua hadir, Azam kakak lelakiku, Ali, Aisy, si bungsu Salwa dan aku, tentu saja tanpa Abi. Umi sedang ada tamu dan berbicara di teras, kami tahu mereka Densus 88.


"Ibu, ini adalah berkas-berkas pernyataan bahwa suami ibu, bersih." Aku tajamkan pendengaran, bukan aku tidak sopan, usiaku kini sudah hampir menginjak tujuh belas tahun. Aku layak tahu semua tentang keluarga terlebih tentang Abi.

"Maksud Bapak, bersih?" tanya Umi.

"Iya. Pak Miftah dinyatakan tidak bersalah. Saat ini kami sedang mengusahakan kebebasan beliau. Semoga kurang dari satu tahun ya." ucap tamu itu dengan enteng.

"Ya Allah, serius Pak? Alhamdulillah, terima kasih, Pak. Atas bantuannya!"

Tamu itu pun pergi dengan meninggalkan amplop berisi uang. Untuk anak-anak katanya. Wajah Umi bersimbah air mata. Sujud syukur ia lakukan. Aku terpaku, rasa sakit hati yang begitu hebat kembali menghantam dada ini. Sama seperti saat aku menyaksikan kepergian Abi bersama pria-pria bersenjata tak dikenal. Rasa sakit, kecewa dan amarah yang entah harus kepada siapa aku muarakan.

 Abi, selama lima tahun lebih dibawa pergi ke seberang lautan, meninggalkan keluarga hidup penuh kegetiran. Umi harus banting tulang menghidupi enam nyawa, aku yang kehilangan cinta pertama,  Kak Azam yang kehilangan sosok panutan. Kini Abi dinyatakan tidak bersalah? Lelucon macam apa ini? Aku ingin bersyukur, namun hatiku teramat pilu.

"Alhamdulillah ... Allah Maha baik, membukakan tabir. In sya Allah Abi akan pulang." Umi terus saja bersyukur dan senyuman menghias wajahnya berbarengan dengan derai air mata.

"Apa Umi tidak marah atas musibah yang kita hadapi ini?" tanyaku pada Umi, yang masih terus saja bersyukur.

"Orang hidup itu diuji, ujian akan mendewasakan dan mengangkat derajat. Mendekatkan kita kepada Allah. Zahra, kini semakin dewasa, bertanggung jawab dan bisa Umi andaikan, adalah salah satu hikmah dari ujian yang kita hadapi. Semua terjadi atas Izin Allah."  Umi mengusap rambutku dan pergi menuju kamar mandi untuk berwudu.

Abi ... sekian lama engkau pergi, kini akan kembali. Abi ... pasti Abi pangling, melihat Zahra yang kini sudah menjadi gadis. Abi, lihatlah Azam begitu tinggi, berambut ikal seperti Abi, dia sudah kuliah semester empat. Abi, Aisy menjadi tahfiz quran  di pesantren, meski dia tumbuh menjadi gadis yang sensitif dan kurang bergaul. Ali kini sudah kelas empat SD dan Salwa telah berusia lima tahun, pandai berceloteh,  bernyanyi dan tidak suka berbagi.  Abi, nanti jika kelak Abi pulang, aku tak lagi merana. Abi, apakah aku harus memaafkan mereka, yang entah siapa? Abi ... Abi ... Abi ....

#Cerpencintapertama #Pulpen 

#Sayembarapulpenxix

Cerpen ini saya ikutan untuk Sayembara Pulpen XIX dengan tema cinta pertama

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun