Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Marbot: di Balik Loyalitas Tanpa Batas Ada kesejahteraan yang Terabaikan

21 April 2024   06:48 Diperbarui: 21 April 2024   07:01 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Marbot atau disebut juga takmir masjid alias pengurus segala kebutuhan untuk aktivitas di dalam mesjid.  Eksistensinya begitu berarti, jika tidak ada  matbot, aktivitas salat jumat tidak akan berjalan lancar, pengajian rutinan tidak akan berjalan mulus dan terlebih lagi, azan lima waktu tidak akan berkumandang dengan baik.  Karena dialah yang sibuk membersihkan masjid seharian, menyiapkan alat pengeras suara, spiker, toa masjid bahkan urusan air dan memastikan semua berjalan aman dan lancar.


Namun dengan eksistensi yang begitu penting, bekerja tak kenal cuti, bukan berarti marbot mendapatkan tempat yang layak di hati para tetua masjid dan warga. Tidak ada honor maupun upah yang pasti dan menunjang kemandirian finansialnya, sebagai kepala rumah tangga. Ia tetap harus mencari penghidupannya sendiri.

KESEJAHTERAAN YANG TERABAIKAN

Seorang kawan bercerita bahwa, marbot di mesjid kompleknya mengundurkan diri. Berawal dari sang marbot minta naik gaji alias upah, karena kebutuhan hidup semakin melambung tinggi. Aktivitas keseharian mengurus mesjid tidak memberinya ruang untuk menyambi kerja yang lain. Sementara anak dan istri dalam tanggungan perlu disejahterakan, perlu berasap dapurnya. Dengan alasan tersebut, sang marbot meminta kebijaksanaan dari masyarakat dan tetua setempat.

Namun usul dan permintaan sang marbot, tidak disambut dengan baik, alih-alih mendapatkan upah lebih memadai malah menuai fitnah dari penghuni komplek, bahwa marbot mereka serakah dan kurang syukur.
Dengan masalah baru tersebut, akhirnya marbot pun mengundurkan diri.
***


Tidak jauh berbeda  dengan cerita teman, kebetulan kakak saya adalah seorang marbot di Masjid kampung kami. Kurang lebih lima tahun telah ia tekuni profesi menjadi marbot ini. Apakah masalah finansial kakak saya sebagai marbot lebih baik dari cerita di atas?
Tidak.

Setahu saya marbot masjid kami, yaitu kakak saya tidak pernah menerima upah sepeserpun dari pihak yayasan.
Biasanya setiap Jumat,  para marbot dari generasi ke generasi, akan keliling untuk mengambil beras ke rumah warga sebagai upah.
Karena marbot kali ini adalah anak orang tua saya, yang secara ekonomi masuk pada kelas menengah ke bawah, mamah melarang kakak untuk meminta beras kepada warga.  Biar ikhlas illahi taala saja. Begitu pesan mamah. Mungkin juga ada rasa tidak tega melihat anaknya seolah "pengemis beras"  karena hati saya sebagai adik juga merasa miris jika kakak keliling ke rumah warga untuk mengambil beras yang tidak seberapa itu. Duh hati saja jadi sedih.


Sesungguhnya setahu kami, para marbot pendahulu mendapatkan upah dari hasil sawah wakaf masjid, namun sekarang, hasil sawah wakaf hanya untuk kebutuhan sarana dan prasarana  masjid saja.
Sepertinya tidak jauh berbeda nasib para marbot di masjid-masjid yang lain. Kesejahteraan finansial mereka terabaikan.

THR HARI RAYA MENJADI HARAPAN UTAMA


Lantas dari mana kakak saya mendapat upah sebagai marbot? Dan hal ini serupa  dengan para marbot di  desa sekitar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun