Mohon tunggu...
Arofiah Afifi
Arofiah Afifi Mohon Tunggu... Guru - Guru Paud.

Hobi membaca, menulis blog. Penulis artikel, sedang mendalami fiksi dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Marbot: di Balik Loyalitas Tanpa Batas Ada kesejahteraan yang Terabaikan

21 April 2024   06:48 Diperbarui: 21 April 2024   07:01 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar.kompas.id


Marbot atau disebut juga takmir masjid alias pengurus segala kebutuhan untuk aktivitas di dalam mesjid.  Eksistensinya begitu berarti, jika tidak ada  matbot, aktivitas salat jumat tidak akan berjalan lancar, pengajian rutinan tidak akan berjalan mulus dan terlebih lagi, azan lima waktu tidak akan berkumandang dengan baik.  Karena dialah yang sibuk membersihkan masjid seharian, menyiapkan alat pengeras suara, spiker, toa masjid bahkan urusan air dan memastikan semua berjalan aman dan lancar.


Namun dengan eksistensi yang begitu penting, bekerja tak kenal cuti, bukan berarti marbot mendapatkan tempat yang layak di hati para tetua masjid dan warga. Tidak ada honor maupun upah yang pasti dan menunjang kemandirian finansialnya, sebagai kepala rumah tangga. Ia tetap harus mencari penghidupannya sendiri.

KESEJAHTERAAN YANG TERABAIKAN

Seorang kawan bercerita bahwa, marbot di mesjid kompleknya mengundurkan diri. Berawal dari sang marbot minta naik gaji alias upah, karena kebutuhan hidup semakin melambung tinggi. Aktivitas keseharian mengurus mesjid tidak memberinya ruang untuk menyambi kerja yang lain. Sementara anak dan istri dalam tanggungan perlu disejahterakan, perlu berasap dapurnya. Dengan alasan tersebut, sang marbot meminta kebijaksanaan dari masyarakat dan tetua setempat.

Namun usul dan permintaan sang marbot, tidak disambut dengan baik, alih-alih mendapatkan upah lebih memadai malah menuai fitnah dari penghuni komplek, bahwa marbot mereka serakah dan kurang syukur.
Dengan masalah baru tersebut, akhirnya marbot pun mengundurkan diri.
***


Tidak jauh berbeda  dengan cerita teman, kebetulan kakak saya adalah seorang marbot di Masjid kampung kami. Kurang lebih lima tahun telah ia tekuni profesi menjadi marbot ini. Apakah masalah finansial kakak saya sebagai marbot lebih baik dari cerita di atas?
Tidak.

Setahu saya marbot masjid kami, yaitu kakak saya tidak pernah menerima upah sepeserpun dari pihak yayasan.
Biasanya setiap Jumat,  para marbot dari generasi ke generasi, akan keliling untuk mengambil beras ke rumah warga sebagai upah.
Karena marbot kali ini adalah anak orang tua saya, yang secara ekonomi masuk pada kelas menengah ke bawah, mamah melarang kakak untuk meminta beras kepada warga.  Biar ikhlas illahi taala saja. Begitu pesan mamah. Mungkin juga ada rasa tidak tega melihat anaknya seolah "pengemis beras"  karena hati saya sebagai adik juga merasa miris jika kakak keliling ke rumah warga untuk mengambil beras yang tidak seberapa itu. Duh hati saja jadi sedih.


Sesungguhnya setahu kami, para marbot pendahulu mendapatkan upah dari hasil sawah wakaf masjid, namun sekarang, hasil sawah wakaf hanya untuk kebutuhan sarana dan prasarana  masjid saja.
Sepertinya tidak jauh berbeda nasib para marbot di masjid-masjid yang lain. Kesejahteraan finansial mereka terabaikan.

THR HARI RAYA MENJADI HARAPAN UTAMA


Lantas dari mana kakak saya mendapat upah sebagai marbot? Dan hal ini serupa  dengan para marbot di  desa sekitar.


 Yaitu dari THR hari raya. Menjelang sepuluh hari terakhir Ramadan, kakak saya akan kebanjiran THR, dari tokoh masyarakat yang status ekonomi menengah ke atas. Ada yang langsung memberi mentahnya berupa uang, ada yang memberi sarung  dan pakaian lainnya. Dan selain itu sekitar 50% warga mengirimkan zakat fitrahnya kepada marbot. Jadilah kakak saya mendapatkan rapel penghasilan dari THR dan zakat fitrah.
Selain itu, masjid kami berdampingan dengan tanah pemakaman. Makam khusus warga setempat yang tentu saja diurus oleh marbot. Sehingga pada hari raya, pemakaman ini akan ramai  pengunjung dan kakak saya menarik biaya parkir sebagai penanggung jawab ketertiban. Selain juga terima upah tahunan sebagai penjaga makam.


Saya baru betul-betul menyadari bahwa, Ramadan -Idul Fitri adalah bulan yang penuh berkah bagi kakak saya dan marbot pada umumnya.
Nah lantas bagaimana dengan bulan-bulan selanjutnya?
 Tentu saja akan kembali seperti biasa, tanpa upah, dan upah kakak sebagai marbot akan dirapel pada Ramadan dan hari raya tahun depan.

Sungguh membuat hati miris, dan terkadang saya berpikir, "Apakah keluarga saya juga termasuk yang abai akan keberadaan marbot?"

MARBOT SEBAGAI KONTRIBUSI KEUMATAN

Menurut Ustadz Adi Hidayat, ada empat cara umat islam dalam menjalankan  kehidupan agar memberikan kontribusi keumatan. Pertama dengan harta, kedua dengan kedudukan, ketiga dengan ilmu dan keempat dengan tenaga.


Tokoh yang berperan di bidang harta ada Abdurrahman bin Auf, ada Usman bin Affan dan masih banyak lagi. Para sahabat nabi zaman dahulu tidak tanggung dalam berbisnis, tidak taggung jadi orang kaya, kaya pake banget. Kita tahu bahwa terdapat hadis populer menceritakan bahwa karena kekayaan Abdurrahman bin Auf, sampai menjadi manusia terakhir yang masuk surga, saking hisabnya lama banget. Andil para sahabat yang kaya ini tidak nanggung jika bersedekah. 


Yang andil dalam bidang kedudukan ada Umar Ibnul Khotob yang masyhur sebagai amirul mukminin. Terkenal adil dan bijaksana. 

 Ada Syaidina Ali bin Abi Thalib yang tiada tanding di bidang ilmu. Seluruh ilmu dari Nabi Muhammad  Saw  telah Ali terima. Ali bin Abi Thalib  masyhur dengan kecerdasan dan kekayaan ilmunya. 

Dan keempat adalah tenaga. Siapa yang punya andil di bidang tenaga? Ia tidak kaya, bukan pakar ilmu, terlebih bukan pemimpin. Dialah Bilal bin Rabbah sang Muadzin Rasul.
Bilal seorang mantan budak hitam yang masyhur dengan sabda Rasulullah bahwa teromoah atau sendalnya Bilal telah lebih dulu berada di syurga.
Maka menjadi marbot adalah andil seorang hamba dalam berhidmat kepada Tuhannya dan umat.
Sehingga bila marbot tidak mendapatkan kesejahteraan biarlah Allah langsung yang mengangkat derajatnya. Baik di dunia maupun di akhirat.
Nah dari kalimat terakhir ini, muncul pertanyaan: Kita, punya andil apa? Ilmu, harta, kedudukan atau tenaga? Atau bahkan tidak ada andil sama sekali atas eksistensi kita sebagai umat di muka bumi?
Ternyata seorang marbot jauh lebih berharga, jauh lebih mulia  di hadapan Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun