"Ayah, apakah Ayah tidak bangga jika Mas bekerja di kantoran ?" Tanyaku dengan suara pelan masih tetap tertunduk.Â
"Firman, bukan Ayah tidak bangga, tapi tidak kah Mas sadari banyak kemuliaan, tersemat sebagai petani?" Lebih lanjut ayah berkata.
Lagi ayah berucap.
"Mas Firman, tidak akan menjadi petani seperti ayah  yang tidak berpendidikan, Mas sudah mengantongi kecerdasan Natural yang cepat faham ilmu pertanian yang Ayah ajarkan. Mas! Kamu  akan kuliah di UGM sebagai mahasiswa pertanian. Kelak, Mas akan menciptakan banyak inovasi. Mas yang akan melanjutkan perjuangan para petani, agar tanah pertanian tidak semakin habis dicaplok proyek-proyek besar pembangunan!" Ayah menjeda ucapannyaÂ
 "Mas.... ! Para petani butuh orang cerdas, yang berdiri di samping mereka.  Kamu faham Mas?" Penjelasan ayah membuatku semakin bingung untuk mengambil keputusan.Â
"Assalamualaikum Pak  Imam!"  suara salam Pak RT di pintu depan membuyarkan diskusi kami.Â
Ayah segera beranjak dari kursi menyambut Pak RT dengan ramah.Â
"Mari Pak  masuk dulu," Ajak ayah.Â
"Ah tidak perlu Pak Imam, ayok segera berangkat,  Pak Camat kabarnya sudah datang di balai Desa, Saya disuruh Pak Lurah jemput  Pak Imam"
"Baik Pak kita berangkat. Bu, Ayah berangkat dulu" Pamit ayah kepada ibu
"Iya Pak hati-hati."