Perjalanan negeri ini meski sang penyair, Taufik Ismail ucapkan "Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia". Bagiku, negeri ini, pantas dijuluki "Ratu Bunga" dan tersematkan di dada "Ibu Pertiwi". Rupanya yang cantik dengan warna beragam, membuat suasana rumah jadi hidup dan semarak. Pesonanya kian bertambah dengan tebaran aroma yang semerbak. Anda ingin mengenal lebih dekat dengan si lambang "Ratu Bunga" ini?
Lihatlah, ketika Sang Satria datang ke tengah-tengah mereka. Tidak sedang menggenggam pedang seperti biasa, melainkan setangkai mawar merah yang terangkai indah. Ia berdiri tegak di tengah-tengah mereka, rakyat yang dicintainya. Memandanginya dan mulai berteriak lantang:
"Lihatlah, lihatlah mawar di tanganku ini. Aku bukan lagi Ksatria yang gemar menabur senjata demi mempertahankan negeri ini..."
"Aku akui, telah puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa melayang oleh jilatan pedangku demi mempertahankan negeri ini. Semalam aku bermimpi ribuan nyawa yang telah kubunuh satu persatu mendatangiku dengan membawa sekuntum mawar. Dengan tulus mereka memberiku bunga merah yang masih segar dan wangi itu".
"Teruskan ceritamu wahai Satria. Kami belum cukup mengerti dengan mawar yang kau bawa itu," teriak diantara mereka.
Perlahan Sang Satria mulai membuka mata. Mata indah itu sudah basah rupanya, dan mulai membangun sungai kecil mengalir di pipinya. Rakyat terheran memperhatikan wajah tampan itu. Baru kali ini mereka melihat Ksatria negerinya menangis setelah mencium bunga. Biasanya mereka melihatnya tertawa lepas dengan mengangkat pedang berlumur darah para penjajah.
"Aku mendapati rangkaian mawar merah ini di meja di mana aku terbiasa meletakkan senjata pedangku. Aku juga mendapati selembar kertas bertuliskan, Selamat tinggal Anakku. Negeri mawar jauh lebih indah daripada negeri senjata. Aku tahu tulisan pendek itu goresan tangan Ibu Pertiwi, ibu yang kucintai melebihi apa pun di dunia ini. Aku tidak mengerti dengan apa yang ditulisnya. Kini, Ibu Pertiwi meninggalkan negeri ini. Dan aku tidak tahu kemana perginya".
Semua yang hadir nampak sedih dan termangu. Bahkan ada beberapa yang ikut menangis karena tahu betapa besar cinta Ksatria terhadap ibunya. Lalu, Ksatria mengatakan kepada seluruh rakyatnya untuk menanam mawar di setiap tempat. Sehingga di sepanjang kota yang tampak hanya bunga mawar merah beraroma wangi.
Dan sejak saat itu, orang-orang asing yang bermaksud menjajah negeri Sang Satria mengurungkan niatnya. Mereka terpesona dengan keindahan mawar yang ditemuinya di setiap sudut kota. Dari negeri mana pun para penjajah itu datang, bisa dipastikan akan meletakkan senjata dan berlari kegirangan begitu menginjakkan kaki di negeri itu. Ada yang menangis sambil menciumi mawar. Ada yang menari seraya melambai-lambaikan setangkai bunga berduri tersebut. Ada yang merangkainya dengan indah sembari mendendangkan sebuah lagu. Ada juga yang duduk menulis puisi, atau berteriak membacakan puisi-puisinya yang indah.
Di sana mereka tidak memperoleh apa-apa kecuali bunga indah yang rata-rata memiliki lima helai daun mahkota. Karena negeri itu tidak memiliki apa-apa kecuali bunga yang menjadi lambang cinta dan keindahan. Bukan senjata yang selalu mengalirkan darah dan menghadirkan kematian. Dan mereka kembali ke negerinya dengan membawa mawar merah.
(melihat sekumpulan mawar merah di lorong itu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H