Mohon tunggu...
Imam Mawardi
Imam Mawardi Mohon Tunggu... -

Lahir di Lamongan, pernah tinggal di Bojonegoro, Yogyakarta, Kediri, Madiun dan Bandung dalam rangka belajar kehidupan. Sekarang tinggal di Magelang bersama keluarga... mengajar dan belajar selalu di sekolah kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Misteri Rizki Allah (Sebuah Refleksi)

15 Agustus 2012   02:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:45 1035
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Misteri Rizki Allah (Sebuah Refleksi)

Oleh: Imam Mawardi Rz

Alhamdulillah.., segala puji bagi Allah SWT yang telah menorehkan kasih-sayang-Nya dalam berbagai manifestasi yang tak ternilai harganya. Limpahan rizki bukanlah sekedar gambaran harta kekayaan, kepandaian, keturunan, atau pangkat dan jabatan, tetapi kemampuan memberi kedamaian dalam bentuk syukur atas kenikmatan yang diberikan-Nya. Di hari-hari terakhir Ramadhan ini semoga kita diberi kekuatan untuk semakin meningkatkan amal ibadah, dan selalu instropeksi atau muhasabah sebagai bentuk refleksi diri apa yang seharusnya kita lakukan, terutama dalam mensikapi rizki yang kita kais dan mintakan dalam setiap doa.

Banyak anggapan di masyarakat, profesi atau jabatan tertentu lebih membanggakan, misalnya menjadi dokter, angota DPR, menjadi Rektor, Dekan, Direktur, Bupati dan lain-lainnya. Apalagi yang dikatakan “pokoe PNS” dengan berbagai macam usaha untuk mencapainya. Meskipun sebagai tukang kebun, yang penting PNS itu lebih baik katanya, karena ada jaminan pensiun masa tua. Saudaraku, kalau ada kesempatan untuk meraihnya dengan ikhtiar, cukuplan menjadi bentuk terbaik dan janganlah berfikir ini sebagai jalan rizki satu-satunya. Hakekat rizki banyak jalannya, bahkan layahtasib tidak disangka-sangka datangnya, sebagaimana firman Allah: "…Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya, dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu" (QS. Ath-Thalaq : 2-3).

Janganlah sampai kita mengkultuskan sebuah pekerjaan sebagai satu-satunya jalan rizki, misalnya menjadi PNS. Kalaupun menjadi PNS, menjadilah PNS yang baik, yang mampu memberi kontribusi bagi kemaslahatan kehidupan. Karena, kalau kita menkultuskan suatu pekerjaan dengan senjata “pokoknya jadi…” bisa jadi boomerang bagi kita sendiri, menjadi syirik rububiyah. Apapun bentuk rizki, kewajiban kita adalah mensyukurinya, bukan membanggakan dan menganggap remeh atau membandingkan suatu pekerjaan dengan pekerjaan lainnya.Bisa jadi orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi, pangkat yang terhormat, atau pekerjaan yang mapan, tetapi tidak merasa bahagia karena keluarganya berantakan atau sakit-sakitan apalah artinya semua itu. Bisa jadi juga, orang yang biasa, tidak punya pangkat-kedudukan dan pekerjaannya serabutan, tetapi mampu memberi kontribusi kebaikan bagi pendidikan keluarganya, mendapat anak-anak yang saleh yang mampu mengangkat derajat orang tuanya, adalah sebuah rizki tersendiri yang lebih nikmat untuk disyukuri.

Hidup ini berproses seirama dengan jalan sunnah-Nya. Apa yang kita peroleh dan kita banggakan saat ini bisa jadi esok akan hilang, dan juga apa yang tidak kita miliki saat ini kemudian kita ikhtiari dengan sungguh-sungguh bisa jadi kita akan memperoleh hasilnya meskipun harus menunggu lama, misalnya yang mendapatkan orang yang kita cintai (anak-anak kita) akibat ikhtiar yang kita usahakan. Jalan kebahagiaan adalah kemampuan untuk “menjadi”, bukan “memiliki”.Apa yang kita miliki hanyalah amanat sebagai titipan yang suatu saat harus siap untuk hilang dan digantikan, sedang untuk bisa “menjadi” tidak tergantung pada apa yang dimilikinya, tetapi menyandarkannya pada Allah dalam mengembangkan dirinya. Modus menjadi menurut Jalaluddin Rachmat adalah kemampuan untuk memberi, kebahagiaan diperoleh ketika memberi, bukan ketika mengambil. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an, “…Supaya kamu tidak bersedih terhadap apa yang terlepas darimu dan tidak bangga dengan apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Al-Hadid: 23).

Oleh sebab itu saudaraku, mari kita tata fikiran dan hati kita, agar tidak terjebak syirik rububiyah. Yang menjamin rizki seseorang, bukanlah akibat pangkat, jabatan, gelar, pendidikan tinggi atau bahkan PNS sebagaimana pandangan kebanyakan dapat menjamin rizki masa tua dengan uang pensiunnya. Katakanlah hal ini hanyalah mungkin sebagai salah satu alternatif jalan rizki Allah, karena hakekat rizki adalah misteri Allah yang kita diwajibkan untuk selalu ikhtiar dalam mencarinya, apa pun wujud dan bentuknya. Mari kita bersyukur apa yang kita peroleh saat ini dan selalu berikhtiar untuk mempersiapkan esok yang lebih baik.

Kemudian, ingatlah saudaraku, apa yang menjadi jatah rizki kita ada hak orang lain yang wajib kita tunaikan dengan zakat (kalau cukup satu nishab), kalau tidak cukup, ada jalan lain menyuburkan rizki kita dengan infak dan sedekah. Mush’ab bin Sa’d berkata, bahwasanya Sa’d merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain. Maka Rasulullah bersabda : "Bukankah kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah diantara kalian?". (HR. Bukhari). Dan Allah berfirman : "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya. Dialah sebaik-baiknya Pemberi rizki". (QS. Saba : 39).

Demikian renungan pagi di Ramadhan Mubarak ini, semoga menjadi manfaat dan menjadi wasilah jalan takwa bagi diriku dan keluargaku sendiri, maupun bagi pembaca semuanya. Semoga Allah memberi rahmatterhadap amal ibadah kita, dan memberkahi setiap jalan ikhtiar kita di masa yang tak habis-habisnya. Amin.

Magelang, 15 Agustus 2012/17 Ramadhan 1433 H

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun