Mohon tunggu...
Mawardi
Mawardi Mohon Tunggu... Petani - Pemuda Perbatasan "Belajar Bernarasi"

Perpengetahuan mungkin cara untuk tidak menghegemoni hak-hak orang lain

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Makanan: Narasi Kemiskinan, Ekspansi, Strategi Perang, hingga Penyelesaian Konflik

31 Agustus 2021   17:54 Diperbarui: 3 September 2021   02:05 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak suka makan, suatu aktivitas harian yang begitu melekat pada setiap makhluk hidup tak terkecuali manusia. Mendengar kata makan saja, pikiran sudah melayang jauh membayangkan jenis-jenis makanan yang menjadi hidangan favorit.

Selain menjadi kebutuhan primer setiap manusia, makanan juga punya banyak cerita dan makna dibaliknya yang dapat mengenyangkan sisi pengetahuan kita. Guyonan pun acap kali kita dengar dari ucapan "berani mati takut lapar" hingga "tanpa logistik bisa anarkis".

Kebutuhan akan sumber energi memang menempati posisi penting dalam memenuhi salah satu fitrah makhluk hidup untuk mampu bertahan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Beberapa kisah pun pernah terekam jelas bagaimana bangsa manusia bisa buas untuk sesamanya dalam konteks pemenuhan kebutuhan makanan.

Dibalik kelezatan makanan mungkin masih terdapat jurang curam yang membuntutinya. Tak diragukan lagi bahwa soal kemampuan menyediakan makanan untuk kebutuhan si perut pun kita masih terbagi atas beberapa kelompok.

Ada yang kelebihan soal ketersediaan makanan, ada yang berkecukupan, ada yang bekerja hanya untuk untuk memenuhi kebutuhan makanan dalam satu bulan, hingga ada yang bekerja hanya sekedar untuk memastikan esok hari dapur masih bisa mengepulkan asap.

Sungguh ini masih menjadi ironi di samping kuatnya gaungan dalam memastikan keberlangsungan hidup setiap individu dalam setiap kelompok masyarakat. Banyak fenomena-fenomena yang terkadang dijumpai disekitar kita yang mewakili kondisi tersebut.

Seperti masih adanya pemukinan-pemukinan yang kumuh di sekitar gedung-gedung tinggi. Masih terdengarnya nyanyian merdu sendok dan piring oleh para mereka yang mungkin beberapa hari lehernya tidak dilewati oleh sedikitpun makanan.

Dalam memastikan dan menjamin keberlangsungan kehidupan setiap warga negara. Semoga harapan itu masih kuat dan perlahan mampu dicapai walau sekilas kelihatan masih dalamnya arus ketimpangan sosial yang terjadi disekitar lingkungan kita.

ilustrasi jenis-jenis rempah-rempah. shutterstock/milos batinic
ilustrasi jenis-jenis rempah-rempah. shutterstock/milos batinic

Terlepas dari itu, makanan pun bukan hanya soal kandungan dan manfaatnya, lebih dari itu makanan memiliki narasi panjang tentang keresahan dan kegelisahan akan citarasa. Karena tak bisa dipungkiri itu menjadi salah satu faktor lahirnya ekspansi.

Gerakan-gerakan ekspansi para bangsa Eropa ke daerah-daerah tropis seperti ke Asia Tenggara tak terlepas dari rangkaian perburuan tentang citarasa makanan atau yang biasa disebut sebagai rempah-rempah.

Karena dalam proses menikmati sajian makanan, beberapa bangsa Eropa merasa bahwa seperti mendapati kekurangan akan citarasa yang notabene bisa menambah nikmatnya sebuah sajian makanan, dan di sisi lain juga memiliki manfaat dalam meningkatkan dan menjaga kesehatan.

Seperti yang kita tahu, di Indonesia memiliki beragam citarasa yang disajikan dalam setiap menu makanan khas dari berbagai daerah. Jika kita telisik lebih jauh, bahwa keberagaman ini sangat dipengaruhi oleh tumbuhan rempah-rempah yang tumbuh dan tersebar di wilayah tersebut.

Karena di bawah naungan iklim tropislah, sehingga dapat dikatakan wilayah Indonesia menjadi surga bagi sebagian besar jenis rempah-rempah yang mampu tumbuh subur dan menghiasi berbagai dataran wilayah Indonesia.

Perburuan rempah-rempah di wilayah nusantara (nama dahulunya wilayah Indonesia) memang punya beragam narasi yang tak terlepas dari kerja-kerja para petani tempatan yang diatur dan dikemas sedemikian rupa demi meraup keuntungan maksimal oleh para bangsa kolonial.

Pada masa-masa peperangan pun, masakan memiliki posisi penting dalam mempertahankan posisi dimedan perang. Keberhasilan pemimpin sebuah kelompok untuk bertahan apalagi di masa paceklik dapat dilihat dari bagaimana ia mampu membuat serta menjalankan strategi demi ketersediaan makanan pada gudang-gudang yang telah disiapkan.

Kisah epik pun tercatat jelas dalam kitab Al-qur'an (kitab agama islam), yang menceritakan bagaimana kepiawaian seorang nabi bernama Yusuf yang mampu menjalankan strategi cerdas dalam mempertahankan kehidupan masyarakat kerajaan untuk menghadapai dan melewati masa-masa paceklik yang berlangsung dalam beberapa tahun.

ilustrasi memasak. shutterstock/max topchii
ilustrasi memasak. shutterstock/max topchii

Selain kisah itu, para juru masak pun pernah dijadikan alat ampuh dalam membaca sejauh mana kekuatan lawan. Hal ini pernah terekam dan dilakukan oleh sebuah kelompok dalam menghitung seberapa besar kekuatan lawan mereka.

Hal ini dilakukan dengan cara melatih seorang untuk dijadikan juru masak pada kelompok lawan guna menghitung seberapa banyak dan kuat para prajuritnya. Selain itu, juru masak yang diambil dari kalangan rakyat dianggap berguna untuk merekam semua kondisi setiap sudut barak-barak musuh.

Selain narasi kemiskinan, ekspansi para kolonial dan strategi perang. Makanan pun masih punya sisi lain yang merarik untuk dicermati, yaitu sebagai salah satu cara dalam menyelesaikan konflik atau permasalahan yang terjadi, baik di internal sebuah kelompok atau antar kelompok.

Makanan terkadang dianggap bisa menjadi bumbu penting dalam menentukan ke mana arah pembicaraan yang ingin dihasilkan. Karena makanan dianggap dapat merubah mood seseorang, sehingga mampu menenangkan diri dan memuluskan pembicaraan.

Karena terkadang didapati dalam sebuah pembicaraan tidak terlepas dari penyajian makanan yang menghiasi dan memadati meja pertemuan. Terlepas jika itu adalah bagian dari budaya menghargai mereka yang diundang, tapi sajian itu menyimpan makna-makna penting dalam memenangi pembicaraan.

Teringat jelas sebuah kalimat dari seorang senior yang pernah berpesan "ajak mereka makan kalo mau selesaikan konflik atau permasalahan, selesaikan dimeja luar baru bawa ke rapat formal". Walaupun mungkin ada yang mengatakan itu terkesan menyogok, tapi apa mau dikata jika perut belum terkondisikan. Mungkin begitu.

Terakhir. Setiap dari kita mungkin punya varian makanan favorit berbeda yang dipengaruhi oleh lingkungan masing-masing. Tak terkecuali bagi mereka yang masih berada diposisi bekerja hanya untuk bertahan hidup esok hari.

Dan mungkin banyak pula dari kita punya narasi lain tentang menikmati makanan selain untuk mengenyangkan perut. Semoga pemaknaan-pemaknaan itu mampu mengantarkan kita pada kedudukan selalu bersyukur dan tidak menyianyiakannya.

"Makanan adalah segalanya bagi kita. Ini merupakan perpanjangan dari perasaan nasionalis, perasaan etnis, sejarah pribadimu, provinsimu, daerahmu, sukumu, nenekmu. Itu tidak dapat dipisahkan sejak awal." - Anthony Bourdain

***

Salam...

Tarakan, 31 Agustus 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun