Mohon tunggu...
Mawardi
Mawardi Mohon Tunggu... Petani - Pemuda Perbatasan "Belajar Bernarasi"

Perpengetahuan mungkin cara untuk tidak menghegemoni hak-hak orang lain

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Refleksi Narasi Kebangsaan: Penegasan Posisi Pemuda

17 Agustus 2021   11:04 Diperbarui: 17 Agustus 2021   11:09 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jangan sampai malah generasi muda pula yang asik menikmati posisinya tanpa merasakan keresahan apalagi sadar bahwa ada peran-peran yang perlu diemban untuk mempersiapkan diri dalam menerima tongkat estafet dari generasi-generasi sebelumnya.

Mungkin masih ada yang perlu kita berikan ruang-ruang diskusi dari pembahasan-pembahasan yang sudah kita anggap final. Seperti makna kebangsaan yang nyatanya masih ada yang berbau primordial dan sara, sangat berbeda dengan pemaknaan kebangsaan oleh para perintis.

Mengaji ulang secara terus menerus dengan benar tentang sejarah mungkin menjadi suatu langkah yang bisa dijadikan alternatif dalam memperbaiki cara pandang melihat kebangsaan dengan lebih komplek. Dan tugas kita adalah mencari literatur mana yang bisa menjelaskan itu.

Bukankah pemaknaan bangsa menyiratkan proyek masa depan dengan basis gotong royong. Bukan malah seolah-olah hanya memaknainya sebagai warisan para pendahulu belaka. Karena dikhawatirkan kita terlena oleh romantisme sejarah hingga lalai untuk melihat ke depan.

Bukannya dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya, ada lirik yang berbunyi "di sanalah aku berdiri". Bukankah ini memiliki pemaknaan untuk melihat jauh ke depan, atau bagaimana meraih tahap demi tahap dari angan-angan atau cita-cita masa depan.

Bukan malah terlalu sibuk mengatasnamakan siapa yang paling berjasa dalam kemerdekaan.  Walaupun itu tidak semuanya salah. Karena bisa juga dianggap perlu untuk meluruskan sejarah siapa yang telah berjibaku penuh dalam mengambil posisi memperjuangkan kemerdekaan.

Bukankah gerak kita sebagai pemuda ialah menjadikan narasi sejarah sebagai basis gerak masa kini dalam melangkah mencapai cita-cita kebangsaan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Serta selalu mengatasnamakan kepentingan bersama, ke-kita-an bukan ke-kami-an.

Di Dirgahayu ke 76 tahun Indonesia, harapan kebangsaan masih tertera rapi dalam narasi ingatan. Pemuda harusnya lebih terkoneksi antara wilayah dalam mendiskusikan dan merumuskan agenda-agenda mengisi kemerdekaan yang dianggap mampu diterjemahkan dengan baik dan benar.

Cara membaca kebangsaan bagi sebagian pemuda tengah kota mungkin berdeda dari sebagian pemuda pinggiran atau perbatasan. Sama seperti anggapan "jawa sentris". Kita belum sepenuhnya merdeka jika soal pemaknaan seperti inipun masih banyak yang keliru.

Hanya permasalahan yang menyangkut ibukota yang dianggap sebagai permasalahan nasional. Sedangkan permasalahan di luar ibokota malah dimaknai sebagai permasalahan daerah. Bukankah dikotomi nasional dan daerah adalah bagian peninggalan kolonialisme.

Bukankah setiap permasalahan di daerah manapun harus dipandang sebagai permasalahan yang sama jika itu menyangkut permasalahan kebangsaan. Ada pemaknaan kelas yang keliru jika narasi seperti ini masih getol didoktrinkan secara terus-menerus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun