Hari ini kami berempat - Ruly, Dea, Ida, dan aku sendiri - merencanakan untuk makan siang di luar.
“Bosan ah, dengan menu katering kantor,” keluh Ruly kala itu, ”Yuk, kita makan di restoran Jepang, sekali-kali.”
Maka demikianlah. Siang terik, tanpa hujan yang biasanya rajin mengguyur kota kami, dengan hati riang gembira walau lapar dan dahaga mendera, kami sudah berada di restoran Jepang yang direkomendasikan oleh Dea.
Duduk-duduk santai berempat, kami berceloteh dari Sabang sampai Merauke. Aku menyempatkan diri mengamati suasana restoran tersebut. Buatku cukup asing, karena biasanya jika acara makan di luar bersama keluarga, tentu kami memilih restoran dengan menu Indonesia, yang tak asing untuk perut dan dompet, pastinya.
Maka mata ini berkeliaran kesana kemari, mengamati bentuk bangku yang khas ala kedai Jepang, dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan bernuansa Jepang, bentuk alat-alat makannya yang khas Negari Sakura, dan lain-lain.
Nah, termasuk juga para waitress atau pelayannya, yang bagiku unik (atau aku yang udik?) ditinjau dari seragamnya ataupun cara melayani tamu resto.
“Moshi, moshi,” kata mbak pramusaji yang bersiaga di depan restoran, setiap kali menyambut pengunjung yang memasuki rumah makan tersebut.
Seorang pramusaji menghampiri meja kami dan menyodorkan buku menu. Kemudian ia bersiap-siap dengan bolpen dan kertasnya, menunggu pesanan lisan kami. Teman-teman sudah mulai sibuk memesan hidangan favoritnya masing-masing. Udon, ramen, sushi, dan lain-lain.
Aku melirik pakaian seragam pramusaji itu. Ada sederet tulisan dalam huruf Jepang (Disebut aksara Katakana, kalau tak salah, atau Hiragana? Ah, aku tak pasti) yang dibordir, tepat di atas saku atas.
Tak bisa menahan rasa ingin tahu, maka kuutarakan pertanyaanku padanya, “Mbak, tulisan itu artinya apa sih?”
Sejenak ia terdiam, kemudian memandang sebentar pada tulisan di dadanya sendiri. Ia berbalik memandangku dengan ragu, “Maaf, saya sendiri kurang tahu.”
“Lho, gimana sih, mbak? Kok nggak tahu?” kawan-kawanku turut menimpali.
“Baik, akan saya tanyakan pada manajer,” suaranya tak pasti.
Walhasil, secepat kilat ia menghilang ke arah dapur.
“Mencari tahu, … atau mencari tofu..?” bisik Dea, bercanda.
Namun semenjak detik itu, mbak waitress cantik tersebut tidak muncul lagi, bahkan sampai kami menyelesaikan acara makan.
“Eh, kemana mbak waitress tadi?” iseng-iseng aku bertanya, sambil menempelkan tisu ke ujung bibir, menghilangkan bekas makanan, yang barangkali saja tersisa.
Ida berkomentar, ”Kamu bawel sih, Sas. Liat aja mbak yang tadi nggak berani muncul lagi kan. Belum menemukan jawabannya mungkin.”
“Ya, bahkan mungkin dia sedang di-training kilat, seputar arti dan definisi tulisan-tulisan tadi,” timpal Ruly, sambil tertawa.
Hingga kami bangkit dari kursi dan meninggalkan restoran, pertanyaan masih menggelayut. Menggantung di pundak mbak pramusaji yang tak nongol-nongol lagi.
Terus terang, walaupun tampaknya sepele, tapi aku merasa agak bersalah juga. Apakah aku terlalu banyak bertanya? Sebab, aku benar-benar merasa curious (ingin tahu).
-----*****-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H