Bekerja di lapangan selain asik, bos juga memberi kesempatan kepada saya untuk lebih mengaktualisasikan diri. Bos tidak bersikap diktator yang penting program pendampingan beres dan bisa berjalan sesuai target. Dan itu harus riil, tidak boleh menggunakan cara-cara yang tidak jujur.Â
Mengajak secara persuasif, mengubah perilaku (mind set) masyarakat tani pedalaman yang cenderung bersikap laggard itu bukan pekerjaan mudah. Butuh kesabaran dan ketelatenan yang luar biasa.Â
Bila berhasil mengajak beberapa orang petani laggard saja menuju ke arah inovasi baru menjadi kebanggaan dan kepuasan tersendiri.Â
Bekerja di lapangan, di mana berurusan dengan masyarakat tani yang sebagian besar masih laggard sebenarnya secara tak langsung membentuk (mengajari) mentalitas kami untuk menjadi bos juga.Â
Betapa tidak, saya dan rekan-rekan secara persuasif dan inovatif menjadi manajer kaum tani di pedalaman agar tingkat kehidupan (kesejahteraan) mereka menjadi lebih baik daripada sebelum ada program pendampingan.Â
Tidak hanya mengenalkan teknik bercocok tanam yang baik melainkan juga mengajarkan bagaimana para petani laggard itu memanage keuangan (pendapatan) dari hasil bercocok tanam dengan komoditas yang dianjurkan.Â
Bekerja di logging operationÂ
Kalau di Kuala Kurun (Kalteng) kami berurusan dengan kaum tani yang laggard, maka kesempatan bekerja di perusahaan logging operation di Sei Babi Sampit, Kalteng terasa sedikit lebih maju.Â
Mengingat kala itu kami berurusan dengan para operator alat-alat berat (heavy equipments) yang nota bene bertemperamen keras (pemberang).Â
Gaji terlambat sedikit mainnya parang atau golok. Kalau nggak tatak pasti saya memilih mengundurkan diri alias resign. Â
Selain berhadapan dengan watak para operator alat berat yang temperamental, saya juga belajar memanage mereka dari segi Human Resources Departement (HRD) dan aturan kepegawaian lainnya.Â