Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Pandemi, "Riyoyo Gak Nggoreng Kopi", Berbelanja Sebatas Kemampuan

7 Mei 2021   17:02 Diperbarui: 7 Mei 2021   17:22 2016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebuah ilustrasi (Sumber : Informa)

Hari Raya Idul Fitri atau lebaran sebentar lagi tiba. Sebagian umat Islam di tanah air tentunya sudah mempersiapkan diri menyambut hari kemenangan itu. 

Dua kali lebaran di tengah masih merebaknya pandemi memang terasa beda. Rakyat kecil seperti kami ikut merasakan dampaknya. 

Ketika sedang rasan-rasan (berbincang-bincang) dengan beberapa kenalan menggunakan bahasa khas Jawa Timuran, salah satu kenalan nyletuk "Yok opo rek, kate riyoyo kok kecut ngene" (bagaimana kawan, mau lebaran gini kok terasa tidak seperti dulu ya). 

Setelah ngobrol, ngalor-ngidul sayapun sambil mesem gantian nyletuk, "Hla iyo aku dhewe kate riyoyo yo gak nggoreng kopi" (Lha iya saya sendiri mau berlebaran gini juga tidak menggoreng kopi). 

Sekadar untuk diketahui, "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane" sebenarnya merupakan kidung parikan (nyanyian) yang tak jarang diperdengarkan oleh salah seorang penyanyi sekaligus menjadi pemain saat pementasan kesenian ludruk. 

Dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih "Lebaran tidak menggoreng kopi, menghadap meja tidak ada kuenya". 

Nyanyian (parikan) ludruk ini sudah ada jauh-jauh hari sebelum merebaknya pandemi. Mungkin saja usianya setua saat kesenian ludruk pertama kali diperkenalkan di tengah masyarakat Jawa Timur kala itu. 

Sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Jatim di masa itu kalau menjelang lebaran (Jawa = riyoyo) pasti menggoreng (menyangrai) biji kopi untuk dijadikan minuman andalan para tetamu yang bersilaturahim (unjung-unjung) ke rumah. 

Apakah itu saudara sendiri, tetangga, rekan kerja atau sanak-kerabat lainnya.  
Selain minuman kopi, beragam kue lebaran tertata rapi di atas meja. 

Tentunya tradisi ini tetap dilakukan oleh mereka yang kondisi ekonominya lapang (cukup). Bagi mereka yang sedang kesulitan ekonomi (Jawa = kecut) akan memilih merayakan lebaran dalam suasana keprihatinan, menyesuaikan dengan kondisi perekonomian yang ada. Itu terungkap dalam parikan "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane". 

Merebaknya pandemi yang berkepanjangan, bahkan kini mulai santer tersiar kabar ada beberapa warga Indonesia yang terinfeksi Covid-19 strain baru dari India tak pelak mendorong pemerintah menerapkan larangan ketat tradisi pulang kampung (mudik). 

Anehnya meski tradisi mudik dilarang toh kemarin diberitakan masih ada saja beberapa orang yang nekad mudik dengan modus sembunyi di bawah tumpukan sayur yang diangkut truk. 

Tradisi berlebaran memang identik dengan baju atau pakaian baru, makanan, minuman dan kue-kue yang disiapkan di atas meja, penukaran uang baru dan bersih-bersih (mengecat) rumah serta masih banyak lagi aktivitas yang berkaitan dengan tradisi lebaran. 

Namun kini sebagian orang khususnya kaum muslim yang merayakan lebaran harus rela prihatin dulu karena tidak bisa mudik untuk berkumpul kembali bersama orang tua dan anggota keluarga tercinta. 

Pandemi yang berkepanjangan sedikit atau banyak akan mempengaruhi sendi-sendi perekonomian sebagian masyarakat kita. Sehingga berlebaran kali ini jauh dari euforia suka-cita. Tidak seperti pada tahun-tahun sebelumnya. 

Kiranya relevan parikan Jawa Timuran berbunyi, "Riyoyo gak nggoreng kopi, ngadep mejo gak onok jajane" diperdengarkan kembali selain sebagai nyanyian penghibur di telinga juga mengandung makna yang cukup mendalam di tengah suasana keprihatinan seperti sekarang ini. 

Menjaga puasa agar tetap berkualitas 

Di sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan, khususnya malam-malam ganjil, Allah akan mengaruniakan suatu malam yang lebih mulia (agung) dari 1000 bulan yang dinamakan Lailatul Qadar. 

Pada sepuluh hari terakhir bulan suci Ramadan, Allah menjanjikan pembebasan dari api neraka Itqun Minan Nar. 

Untuk itu sayang kalau kesempurnaan dan kualitas puasa kita terkoyak hanya karena hasrat tak terbendung dari euforia berlebaran yang identik dengan berbelanja dan tindakan konsumtif lainnya. 

Menunaikan ibadah puasa yang berkualitas di mata Allah memang tidak mudah. Tidak cukup dengan hanya mengerjakan syarat, rukun dan apa saja yang membatalkan puasa, namun kita juga harus "ihlas". 

Jangan sampai pula di mata Allah puasa kita dinilai hanya sekadar menahan haus dan lapar tanpa  mendapatkan pahala yang berarti, nauzubillah. 

Puasa yang berkualitas di mata Allah itulah yang Insha Allah akan dapat menghapuskan semua dosa-dosa kita di masa lalu, aamiin YRA. 

Berbelanja dalam batas yang wajar 

Sebagai seorang muslim yang masih diberi kesempatan hidup oleh Allah di dunia ini tentu kita tetap membutuhkan hal-hal yang bersifat duniawiyah. 

Kita tetap perlu membelanjakan sebagian hasil rizki kita untuk keperluan hidup sehari-hari, tak terkecuali untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri (lebaran) 1442 Hijriah beberapa hari mendatang, namun tetap dalam batas-batas yang wajar. 

Tidak kalap (berlebihan), karena mumpung ada duit. Lalu barang-barang apa saja yang harus dibeli? 

Tentunya didasarkan pada kebutuhan yang menjadi prioritas utama. Mumpung ada uang kenapa tidak melakukan aksi borong pakaian atau makanan untuk berlebaran? 

Bukankah kita mengikuti ajaran Rasulullah untuk hidup sederhana. Sisa uang yang ada bisa didistribusikan untuk zakat atau donasi lainnya. Atau ditabung untuk menghadapi masa-masa paceklik (sulit) seperti sekarang ini. 

Bagi mereka yang penghasilannya pas-pasan, belanja saja dalam batas-batas yang wajar, sesuai kemampuan yang ada. 

Semoga puasa kita lancar, paripurna sebulan penuh, berkualitas, dengan harapan memperoleh Rahmat Allah berupa ampunan dosa, aamiin YRA.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun