Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Icip Sedap "Serabi Bojonegoro" di Lapaknya

30 Maret 2021   04:56 Diperbarui: 4 April 2021   05:23 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lapak Serabi Bojonegoro (Dokumentasi Mawan Sidarta)

Masyarakat terutama kaum muda yang hidup di zaman now lebih familiar dengan makanan-makanan produk asing. Mereka lebih antusias dengan cheese burger, sushi, spagetti dan masih banyak lagi kuliner asing yang populer di tengah masyarakat kita. 

Mereka yang telanjur gandrung dengan makanan produk asing, mungkin merasa prestisenya naik setelah mengonsumsi kuliner asing itu. Bagaimana dengan nasib kuliner tradisional? 

Seiring dengan berjalannya sang waktu, makanan asing semakin populer dan bisa diterima oleh sebagian masyarakat kita. Sementara makanan khas daerah (kuliner tradisional) kurang terangkat atau bahkan dikhawatirkan akan semakin tergerus zaman. 

Beruntung sekali masih ada sebagian kalangan yang menunjukkan sikap peduli (care) terhadap kuliner tradisional sehingga tetap eksis meski tidak begitu populer. Mereka yang menaruh perhatian memungkinkan makanan daerah tersebut tetap lestari dan mendapat tempat tersendiri di relung-relung hati para penikmatnya. 

Diantara ribuan atau bahkan puluhan ribu kuliner tradisional yang tersebar di berbagai pelosok nusantara, salah satunya yang perlu kita jaga kelestariannya ialah kue serabi. 

Pesan yang original bang (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Pesan yang original bang (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Barangkali ada yang belum tahu, apa itu kue serabi, apa keistimewaannya dan bagaimana cara membuatnya. 

Kue serabi merupakan makanan yang dibuat dari adonan yang menggunakan tepung beras dan santan kelapa. Sebagian orang ada yang mencampurnya dengan sedikit terigu dan tapioka (kanji) katanya biar kenyal dan tambah maknyus. 

Pada awalnya, serabi dibuat dengan dengan dua macam rasa yakni manis dan biasa (sedikit asin). Seiring dengan perkembangan zaman dan agar makanan (kue) tradisional tak kalah dengan makanan asing maka penjualnya mulai berkreasi dengan meningkatkan mutu layanan dan varian rasa termasuk juga toping serabi itu sendiri. 

Setiap daerah di Indonesia ini mungkin memiliki kuliner kue serabi hanya saja namanya yang berbeda-beda. Di Jawa Timur misalnya, umumnya masyarakat di provinsi ini menyebutnya dengan nama kue srebeh. Masyarakat di Jawa Tengah, khususnya daerah Solo menyebutnya dengan nama serabi. Sementara masyarakat kota kembang Bandung menyebutnya dengan nama surabi. 

Seolah larut dalam aktivitas penjualan kue serabi (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Seolah larut dalam aktivitas penjualan kue serabi (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Apapun nama atau istilah untuk kue serabi harusnya tidak menjadi masalah. Yang perlu diperhatikan justru bagaimana lebih mencintai beragam kuliner tradisional itu tak terkecuali kue serabi dan upaya pelestariannya. 

Kali ini saya mencoba mengulik kue serabi kampung yang kabarnya asli Kota Bojonegoro, Jawa Timur. 

Ada yang menarik ketika saya mendatangi lapak penjual serabi ini, sang penjualnya masih mempertahankan proses memasaknya menggunakan wajan (loyang) dari tanah liat. Selain wajan dari tanah liat, api pembakaran masih menggunakan arang kayu bukan kompor gas. Sehingga memberi kesan benar-benar kue serabi ala pedesaan meski lapaknya berada di pinggir jalan besar. 

Serabi Bojonegoro, gurih dan nikmat (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Serabi Bojonegoro, gurih dan nikmat (Dokumentasi Mawan Sidarta)
Kabarnya, kue serabi yang dipanggang menggunakan loyang dari tanah liat dan api dari arang kayu rasanya lebih sedaap. Aroma sedikit hangus (Jawa = sangit) justru menimbulkan sensasi tersendiri dan menjadi ciri khas serabi kampung di alam pedesaan. 

Ada banyak pilihan rasa. Tapi saya lebih memilih yang original saja. Untuk sebuah kue serabi berukuran mungil dibanderol dengan harga Rp. 2500,-. 

Ciri khas lain dari kue Serabi Bojonegoro ini yakni cara makannya ditemani parutan kelapa setengah tua, bubuk kedelai, gula pasir atau kuah dengan beragam rasa sesuai selera. 

Cara membuat kue serabi 

Yuk coba kita intip bahan-bahan apa saja yang diperlukan dan cara pembuatannya. 

Bahan 

250 gram (seperempat kilogram) atau 10 sendok makan tepung beras, 200 mililiter santan kental hangat, garam secukupnya, 100 mililiter air hangat jika diperlukan. Bubuk kedelai secukupnya atau gula pasir. Kelapa parut secukupnya untuk toping. Sebaiknya dipilih kelapa yang setengah tua. 

Cara pembuatannya 

Mencampur tepung beras, santan kental dan garam. Diaduk-aduk sampai merata sambil dikeplok-keplok (bisa menggunakan mixer) selama kurang lebih 30 menit. 

Jika masih terlalu kental bisa ditambahkan air hangat. Aduk terusterus, adonan yang diperlukan memang harus sangat cair. 

Setelah 30 menit diaduk dan dikeplok-keplok atau dimixer, kemudian panaskan cetakan serabi dari tanah liat. Setelah panas tuangkan adonan lalu tutup kembali. Panggang sampai sekiranya matang. 

Setelah adonan matang (pinggir terlihat kering) congkel kue serabi menggunakan sutil kecil atau codet dan lakukan terus hingga adonan habis. 

Sajikan dengan bubuk kedelai, kelapa parut atau kuah dari campuran santan dan gula merah atau varian rasa lainnya sesuai selera.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun