Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang telah dikumandangkan oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia, tak serta merta membuat penjajah (Jepang) secepatnya hengkang dari bumi pertiwi tercinta ini. Â
Kondisi dalam negeri sendiri masih terbilang panas. Malahan muncul keinginan dari pihak Belanda, Inggris, dan sekutunya untuk menguasai kembali tanah air ini. Â
Taman Sejarah dulunya menjadi ajang perang 10 November 1945
Perang Surabaya pada dasarnya merupakan rangkaian yang cukup panjang, yang tidak terjadi pada 10 November 1945 saja melainkan pada September dan Oktober 1945 sudah mulai meletus perang dan puncaknya pada tanggal 10 November 1945.
Pertempuran yang terjadi di antara kedua belah pihak memang tidak seimbang. Arek-arek Suroboyo, segenap rakyat Surabaya dan berbagai elemen lainnya kala itu hanya bersenjatakan alat-alat perang hasil rampasan dan senjata milik sendiri tapi ala kadarnya
Dari sisi logika, apa yang dilakukan para pejuang Surabaya itu, terkesan konyol dan "setor nyowo" (menyerahkan nyawa begitu saja). Namun sejatinya mereka itu memegang prinsip, "lebih baik mati (hancur) berkalang tanah daripada hidup dijajah bangsa asing, rawe-rawe rantas malang-malang putung".
Tercatat dalam sejarah bahwa pertempuran yang terjadi di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 itu merupakan salah satu perang yang paling sengit (dahsyat) pada masa itu. Â
Peristiwa tewasnya Mallaby ini terjadi di sekitar Jembatan Merah, Gedung Internatio (Internationale Crediten Handelvereeniging), Gedung Cerutu, dan Jalan Garuda (heerenstraat). Â
Taman Sejarah dulunya bernama willemsplein
Selain Jembatan Merah dan bangunan-bangunan tua berarsitektur menawan, ada sebuah lapangan (alun-alun) yang kala itu masih bernama Willemsplein yang menjadi saksi bisu tewasnya AWS Mallaby. Â
Roda sejarah terus berputar. Alun-alun yang di masa revolusi masih bernama Willemsplein kini oleh pemerintah kota (pemkot) Surabaya dibenahi dan dikelola secara cermat hingga menjadi sebuah taman yang apik dan ciamik. Namanya kemudian diganti menjadi Taman Sejarah yang sebelumnya bernama Taman Jayengrono. Â
Sementara nama Jayengrono (Jayengrana, ada yang menyebut Jangrana ada juga Jengrana) diambil dari nama seorang tumenggung (adipati) Surabaya kala itu. Â
Belakangan nama Taman Jayengrono diubah lagi dengan nama Taman Sejarah dengan alasan karena di kawasan (lapangan atau alun-alun) itu dulunya pernah terjadi peristiwa bersejarah yaitu baku tembak antara Arek-arek Suroboyo dan segenap rakyat Surabaya lainnya dengan pasukan yang dipimpin oleh Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby dari Inggris. Â
Berbagai versi beredar di dunia maya dan nyata. Ada pendapat yang mengatakan karena ketika terjadi konflik bersenjata itu Mallaby sedang berada di dalam mobilnya. Saat sebuah granat meledak, tubuhnya hangus terbakar sehingga jenazahnya nyaris susah dikenali lagi.Â
Saya sendiri secara pribadi mengatakan kalau pemberian nama Taman Sejarah itu lebih mengena dan mudah diingat (dihafal) orang. Selain itu lebih bersifat universal dan tak mengandung unsur kesukuan.Â
Taman kota, apapun namanya tak terkecuali Taman Sejarah yang berada di Jalan Jayengrono Surabaya itu setidaknya harus memenuhi aspek keindahan (estetika).Â
Tidak sekadar sebagai tempat berfotoria dan kongkow, keberadaan Taman Sejarah, setidaknya dapat memperbaiki lingkungan alam (aspek ekologi dalam skala kecil) di kawasan itu. Â
Lokasi Taman Sejarah sangat strategis
Selain beragam fasilitas yang ada di dalamnya. Taman Sejarah termasuk salah satu taman kota yang begitu spesial, mengapa? Karena berada persis di depan kompleks pertokoan Jembatan Merah Plaza atau warga Surabaya biasa menyebutnya JMP.Â
Taman Sejarah berada tidak jauh dari kawasan bisnis (pertokoan) Kembang Jepun, kantor-kantor besar dan hotel yang masih memfungsikan bangunan cagar budaya warisan Belanda yang terletak di kawasan sepanjang Jalan Rajawali Surabaya. Â
Pasar tradisional modern ini selain menyediakan beragam kebutuhan pangan, ikan, daging dan bahan-bahan lainnya bagi warga Surabaya dan sekitarnya juga dicanangkan sebagai pasar cagar budaya yang keberadaannya dilindungi undang-undang. Â
Tak ubahnya puluhan taman cantik lainnya, Taman Sejarah yang luasnya kurang lebih 5300 meter persegi itu didisain seindah dan semenarik mungkin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H