Menurut sejarawan Sukarto Atmojo, kalimat "Ling Deva Pu Kameswara Tirthayatra" dapat diartikan bahwa ketika itu Raja Kameswara pernah melakukan kunjungan suci dengan mendaki Gunung Semeru. Menurut sang sejarahwan, angka tahun prasasti berkisar pada 1182 masehi.Â
Sementara menurut penafsiran Dwi Cahyono, kata deva pu menunjukkan kalau Kameswara ketika melakukan ritual tirthayatra sudah bukan seorang raja Kerajaan Kadiri lagi dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mendekatkan diri pada Hyang Widhi karena deva pu berarti rohaniawan.Â
Sedangkan gelar raja biasanya menggunakan kata shri (sri). Menyimpulkan Prasasti Ranu Kumbolo merupakan tinggalan Raja Kameswara dari Kerajaan Kadiri, menurut Dwi Cahyono dianggap terlalu dini mengingat jenis huruf Jawa Kuno yang tertulis di Prasasti Ranu Kumbolo ada kemiripan dengan prasasti-prasasti lain yang ditemukan di Semeru bagian selatan, mulai Ampelgading (Malang) hingga Senduro (Lumajang).Â
Huruf-huruf atau aksara Jawa Kuno yang ditemukan di sebelah selatan Gunung Semeru itu dibuat pada masa kejayaan hingga menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit.Â
Perjalanan spiritual di masa Kerajaan Majapahit juga seringkali dilakukan para rohaniawan atau raja. Sebagai contoh, Raja Hayam Wuruk melakukan ritual tirthayatra di wilayah kekuasaannya.Â
Perjalanan spiritual Raja Hayam Wuruk mencari air suci ke Sumber Wendit, Sumber Awan, dan Telaga Biru yang berada di wilayah Malang telah ditulis oleh Mpu Prapanca dalam kitabnya Negara Kertagama.Â
Suatu sikap agung yang kemudian diperkuat dengan tinggalan berupa prasasti atau jejak purbakala lainnya (arca, pepunden berundak, menhir dan sebagainya) untuk mengenang misi perjalanan spiritual beliau.Â
Prasasti yang mereka tinggalkan telah menjadi warisan purbakala yang sangat berarti bagi generasi sekarang dan yang akan datang terutama untuk menguak keadaan di masa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H