Gunung Semeru dipercaya sebagai gunung suci di mana pada puncaknya yang disebut Mahameru itu merupakan tempat bersemayam para dewa. Gunung Semeru kesuciannya disamakan dengan Gunung Himalaya di India.Â
Kala itu, Kameswara melakukan pendakian ke Gunung Semeru melalui jalur pendakian kuno dari Desa Pasrujambe (Lumajang, Jatim) dan bukan seperti para pendaki zaman sekarang yang melakukan pendakian melalui posko Desa Ranu Pane.Â
Seorang arkeolog dari Universitas Negeri Malang (dulu bernama IKIP Negeri Malang) bernama Dwi Cahyono, pada tahun 2011 pernah melakukan penelitian di daerah Pasrujambe.Â
Ternyata benar bahwa daerah Pasrujambe memang menyimpan banyak serpihan benda-benda kuno, seperti menhir (batu tegak), batu tulis (prasasti), maupun peralatan sehari-hari masyarakat pada zaman kuno.Â
Sang arkeolog juga menemukan beberapa batu tulis yang bercerita tentang perjalanan suci yang dilakukan oleh raja atau rohaniawan dari Kerajaan Blambangan (sekarang Banyuwangi) menuju Gunung Semeru.Â
Di salah satu permukaan batu prasasti itu tertulis Rabut Macan Petak. Ini merupakan nama Kerajaan Macan Putih yang berada di Banyuwangi saat ini. Kala itu, Kabupaten Lumajang sudah berkembang menjadi area tujuan tirthayatra.Â
Tentu saja apa yang dilakukan Kameswara bukan sekadar pendakian biasa namun perjalanan spiritual mendekatkan diri (samadi tapa brata) kepada Sang Hyang Widhi.Â
Boleh jadi tujuan utama beliau sebenarnya ke puncak Mahameru yang diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa namun singgah (satre) sejenak di Ranu Kumbolo untuk melakukan berbagai ritual tertentu sekaligus mencari air suci serta menggoreskan jejak perjalanan spiritualnya pada sebongkah batu andesit yang kemudian kita kenal dengan nama Prasasti Ranu Kumbolo itu.Â
Selain Ranu Kumbolo, bagian lain dari Semeru yakni Archapada diperkirakan dulunya pernah menjadi tempat singgah Kameswara sebelum melakukan perjalanan suci menuju puncak Mahameru.Â
Itu terlihat dari bukti ditemukannya pepunden berundak dan beberapa arca sebagai sarana memohon keselamatan dari Sang Hyang Widhi.Â
Belum begitu jelas apakah prasasti dibuat dengan tangannya sendiri atau orang lain yang menjadi pengikutnya saat beliau melakukan ritual tirthayatra tersebut.Â