Apa daya "nasi sudah menjadi bubur"sebuah ungkapan yang bermakna suatu pekerjaan (aktivitas) yang sudah telanjur dilakukan, dalam Bahasa Jawa dikatakan "wis kadung".
Dalam kesempatan yang sangat berbahagia ini, mengingat masih dalam suasana peringatan Isra Mi'raj (1442 H atau 11 Maret 2021) saya tidak hendak membuat catatan seputar ungkapan di atas, melainkan ulasan sederhana tentang kata "bubur" dalam arti yang sebenarnya. Â
Bubur merupakan jenis kuliner atau makanan yang dibuat dari beras atau bahan lain seperti ketan, ketan hitam, sagu, kacang hijau, jagung atau gandum dengan kandungan air berlebih sehingga saat matang terlihat sangat lunak dan becek (berair). Â
Bubur merupakan khasanah kuliner Indonesia meski di negara asing juga banyak kita temukan bubur. Malahan bahan yang digunakan bukan dari beras seperti kebanyakan bubur di Indonesia tetapi berasal dari gandum atau jagung. Â
Salah satu jenis bubur yang sangat populer dan familiar di tengah masyarakat kita adalah bubur ayam. Ada beberapa macam bubur ayam sesuai daerahnya. Bubur Ayam Betawi, Bubur Ayam Sukabumi, Bubur Ayam Tegal dan masih banyak lagi nama bubur ayam hasil daya kreasi daerah-daerah lainnya. Â
Ciri khas Bubur Ayam Sukabumi biasanya dibuat dengan menambahkan telur ayam kampung mentah yang ditimbun dalam bubur panas hingga termasak setengah matang.Â
Lain pula dengan Bubur Ayam Betawi yang banyak kita temukan di Jakarta. Bubur Ayam Betawi atau Bubur Ayam Jakarta biasanya disajikan dengan sayatan daging ayam dengan beberapa bahan tambahan  seperti kecap asin, kecap manis, merica, garam dan kadang-kadang diguyuri kaldu ayam.Â
Dalam penyajiannya Bubur Ayam Betawi dilengkapi dengan taburan daun bawang cincang, bawang goreng, seledri, tongcai (sayur asin), kedelai goreng, cakwe, dan kerupuk. Â
Bubur Manado dibuat dari campuran berbagai jenis sayuran (labu kuning, beras, singkong, bayam, kangkung, jagung dan kemangi) tidak mengandung daging.Â
Makanan ini menjadi makanan pergaulan antar kelompok masyarakat di Manado. Tinutuan biasanya disajikan untuk sarapan pagi, tapi tak jarang juga ditemukan di warung-warung (restoran) khusus Bubur Manado. Â
Surabaya dan beberapa daerah lain di sekitarnya juga memiliki kuliner bubur ini, termasuk Madura. Entah bagaimana ceritanya, Bubur Madura ternyata nggak berbeda jauh dengan jenis bubur di Surabaya dan beberapa daerah sekitarnya termasuk Gresik, Sidoarjo dan Mojokerto. Â
Sebelum bermukim di Gresik sampai sekarang ini, kalau pas ada kesempatan menemani almarhum ortu berbelanja ke Pasar Blauran atau Kapasan Surabaya tak lupa kami luangkan waktu untuk berburu Bubur Madura.
Memang bukan Bubur Madura seperti yang biasa kami beli dan nikmati tapi ketika saya amati kok isinya tak berbeda jauh dengan Bubur Madura yang biasa kami beli di Surabaya. Malahan isi (macam) nya lebih lengkap dan dibanderol dengan harga amat terjangkau. Â
Sang penjual (panggil saja Pak Tono, bukan nama sebenarnya) menyebut dagangannya dengan nama "bubur campur". Tak kalah dengan Bubur Madura, bubur campur ini terdiri dari enam atau tujuh macam bubur yang ditempatkan dalam mangkuk atau dibungkus gelas plastik (cup). Â
Sebelum merebak pandemi, Pak Tono biasa memarkir lapak buburnya di halaman Puskesmas. Sebagian pasien sebelum masuk ruang periksa atau setelah keluar dari Puskesmas tak jarang andok (mengudap) dulu di lapak bubur Pak Tono. Selain mangkal di halaman Puskesmas, Pak Tono dengan telaten mendatangi para pelanggannya di desa-desa sekitarnya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H