Indonesia merupakan negara kepulauan. Ribuan pulau berjajar, sambung-menyambung terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Keanekaragaman budaya, bahasa, suku bangsa dan sumber daya hayati menjadikan Indonesia bukan hanya pantas dijuluki negara besar namun juga negara yang kaya raya. Khazanah flora, fauna dan plasma nutfahnya sangat banyak dan beragam.
Di Papua misalnya, pulau yang dulu bernama Irian Jaya itu memiliki potensi alam yang luar biasa. Meski topografi wilayahnya berupa gunung dan perbukitan namun tanahnya sangat subur. Salah satu potensi flora Papua yang kini menjadi perbincangan masyarakat di tanah air ialah buah Matoa.
Bahkan waktu saya rasan-rasan (membicarakan) tentang buah ini dengan keluarga besar ternyata ada anggota keluarga yang belum teu (tahu) apa itu buah matoa. Jangan keliru sebut ya, buah matoa lho bukan metao. Kalao metao itu kata dalam perbendaharaan Bahasa Jawa daerah Jember (Jatim) yang berarti kemeruh (sok tahu).
Matoa merupakan nama tanaman buah asli Papua. Meski demikian buah matoa bisa kita temukan di daerah lain seperti Maluku, Sulawesi dan negara Papua New Guinea. Sebagian masyarakat kita juga telah menjadikan matoa sebagai tanaman produktif pengisi halaman (pekarangan) rumah.
Matoa termasuk tanaman yang bandel (tidak manja), bisa tumbuh dan berkembang di kawasan (lahan) datar bertekstur liat (clay). Dalam dunia taksonomi, buah matoa tergolong ke dalam famili sapindaceae (keluarga rambutan).Â
Melihat potensi buah matoa yang cukup besar itu sehingga pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia no. 160 / Kpts / SR.120 / 3 / 2006 menetapkan bahwa matoa merupakan buah unggul yang patut dibudidayakan.
Botani dan Teknik budidaya buah matoa
Dalam setahun, matoa berbuah sekali. Musim bunga umumnya terjadi pada bulan Juli sampai Oktober. Tanaman dewasa sudah bisa dinikmati hasilnya pada bulan Desember sampai beberapa bulan setelahnya.