Khusyuk berdoa (bermunajad), melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran, membaca Yassin dan Tahlil atau bahkan sekedar Surah Fatikah sudah sepantasnya dilakukan ketika seseorang melalukan ziarah kubur apalagi kalau yang diziarahi itu pusara para wali atau tokoh berjasa (pahlawan) lainnya. Ziarah kubur boleh khusyuk namun yang namanya manusia juga tak bisa lepas dari masalah perut dan kebutuhan lainnya.
Ketika melakukan ziarah kubur ke kompleks makam Sunan Giri yang ada di kawasan Sidomukti, Kebomas-Gresik, Jawa Timur, sebelum sampai di cungkup makam utama yang menjadi persemayaman Sunan Giri, terlihat banyak kita temukan para pedagang kaki lima yang menjajakan dagangannya.Â
Biasanya para peziarah yang hendak mengunjungi pusara Sunan Prapen bisa menyewa delman sebab kalau berjalan kaki jaraknya cukup jauh dari kompleks makam Sunan Giri.Â
Pentingnya pemberian tanda nama pada pusaraÂ
Saya katakan cungkup makam utama karena memang di sekitarnya masih banyak kita temukan batu nisan entah siapa yang punya, beberapa diantaranya menjadi milik para wali yang masih keturunan (anak-cucu) Sunan Giri.
Mungkin kalau bebatuan nisan itu milik orang biasa (bukan tokoh penting) tidak terlalu menjadi masalah meski tidak dicantumkan tanda nama di atas pusaranya.Â
Mungkin sebelumnya sudah dipasang tanda nama pada setiap kuburan yang dikenal tapi kemudian hilang karena keisengan peziarah atau rusak dimakan sang waktu. Kadang bagi sebagian peziarah mungkin timbul rasa penasaran, siapa tokoh penting (sunan) yang terbaring abadi dalam pusara itu?
Itu seperti yang saya saksikan saat berziarah ke kompleks makam Sunan Giri belum lama ini. Sebelum masuk cungkup utama, peziarah pasti menemukan banyak makam, diantaranya milik Sunan Sedo Margi yang masih keturunan Sunan Giri.Â
Beberapa lagi kuburan yang diperkirakan masih keturunan dekat para sunan tadi. Sayangnya pengelola situs makam Sunan Giri tidak memasang papan (tanda) nama pada beberapa kuburan tadi agar para peziarah menjadi tahu siapa pemilik makam itu.Â
Mungkin pemberian tanda nama ini cukup penting terutama bagi para pelajar, mahasiswa atau siapa saja yang memang punya ketertarikan pada sejarah. Tanda nama milik Sunan Sedo Margi sendiri juga terlihat usang, untungnya masih terbaca.Â
Untuk bisa sampai ke kompleks makam Sunan Giri dan keluarganya, para peziarah harus berjalan kaki melewati banyak trap-trap tangga. Kompleks makam Sunan Giri dan kerabatnya berada di sebuah bukit yang cukup tinggi.Â
Kini di sisi kiri objek wisata religi kebanggaan masyarakat Gresik itu juga berdiri Museum Sunan Giri yang belum lama ini diresmikan penggunaannya untuk dikunjungi masyarakat luas.
Selain kompleks pusara, di sisi kanan tak jauh dari pekuburan Giri bisa pengunjung saksikan Masjid Giri yang dibangun Sunan Giri ribuan tahun silam.
Agar berdoa atau bermunajad menjadi lebih khusyuk maka pengelola situs makam sengaja melarang pengunjung memasang HP nya atau mengambil gambar (memotret) yang dikhawatirkan akan mengganggu kekhusyukan mereka yang sedang berdoa di makam.
Sejarah Singkat Sunan GiriÂ
Dari jalur ayahandanya, Sunan Giri masih keturunan ke-23 dari Rasulullah Muhammad SAW. Beliau lahir di Blambangan (Banyuwangi) pada tahun Saka Candra Sengkala "Jalmo Orek Werdaning Ratu" (1365 Saka), dan wafat pada tahun Saka Candra Sengkala "Sayu Sirno Sucining Sukmo" (1428 Saka) di Desa Giri, Kebomas, Gresik-Jawa Timur.
Ayah kandung Sunan Giri bernama Imam Ishaq Makdum (Maulana Ishaq bin Maulana Akbar) atau sebagian kalangan menyebut dengan nama Syeh Maulana Ishaq atau Syeh Awalul Islam, seorang mubaligh dari Samarkand - Asia Tengah. Ibunda beliau adalah Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, seorang adipati Blambangan pada masa menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit.
Sewaktu masih berusia belasan tahun, Sunan Giri dibawa asuhan Nyai Ageng Pinatih, syahbandar kaya raya asal Gresik yang kelak menjadi ibunda angkatnya. Kala itu sang sunan diberi nama Joko Samudro karena ditemukan awak kapal Nyai Ageng Pinatih dalam peti besi terapung-apung di tengah samudera.
Nyai Ageng Pinatih kemudian menyekolahkan Joko Samudro ke pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Ampel Denta Surabaya. Selama belajar di pesantren Ampel, Joko Samudro diberi nama Raden Paku. Tujuh tahun lamanya Raden Paku memperdalam Agama Islam kemudian lulus dan diwisuda dengan gelar Ainul Yaqin.
Mengingat perkembangan kecerdasan Joko Samudro yang begitu pesat, dan Sunan Ampelpun tahu kalau Joko Samudro itu adalah anak kandung Maulana Ishaq maka bersama Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) akhirnya mereka berdua dikirim ke Pasai untuk mendalami Islam.
Sepulang dari Samudra Pasai, Joko Samudro atau Raden Paku kemudian mendirikan pesantren di kawasan Sidomukti, Kebomas-Gresik pada tahun 1403 Saka (1481 Masehi). Pesantren Giri akhirnya maju dengan pesat hingga menjadi sebuah kerajaan yang dinamakan Giri Kedaton.
Kharisma (kewibawaan) yang ada pada diri Sunan Giri menjadikan beliau diangkat oleh Kesultanan Demak Bintoro sebagai Ahlul Halli Wal Aqdi yaitu seorang penentu kebijakan pemerintah dan penyebar Agama Islam di Pulau Jawa. Peristiwa penting itu terjadi pada tahun 1407 Saka (1485 Masehi).
Raden Paku kemudian diangkat menjadi Raja Giri Kedaton oleh Raden Fatah selaku Sultan Demak I dengan gelar Prabu Satmoto pada tanggal 9 Maret 1487. Tanggal itu selanjutnya ditetapkan sebagai hari jadi (lahirnya) Kota Gresik.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang oleh Girindrawardhana dari Kediri pada tahun 1478, Sunan Giri sempat menjadi raja. Setelah itu ia menyerahkannya kembali Raden Fatah, putra Bhre Kertabhumi (Brawijaya 5).
Dalam keagamaan, Sunan Giri sangat dikenal karena pengetahuannya yang sangat luas tentang ilmu Figih, sehingga dijuluki Sultan Abdul Faqih. Beliau juga sangat berjasa karena menghasilkan karya seni yang luar biasa. Tembang lir-ilir, jelungan dan cublak-cublak suweng kabarnya juga merupakan karya beliau.
Demikian pula dengan gending Asmaradhana dan Pucung meski bernuansa Jawa namun sarat akan ajaran Islam, nasehat dan pesan moral.
Sebagai seorang waliyullah yang masuk ke dalam kelompok wali songo (wali sembilan), Sunan Giri tidak hanya mensyiarkan Islam di Pulau Jawa.Â
Dalam sebuah riwayat dikisahkan pernah suatu ketika beliau berdakwa sekaligus berdagang di Kota Banjarmasin (Kalbar) pada sekitar tahun 1384 Saka (1462 Masehi).Â
Sang sunan bukannya menjual melainkan malah membagi-bagikan barang dagangannya kepada fakir miskin, kaum duafa dan orang yang membutuhkan.Â
Agar kapal yang ditumpangi beliau tidak oleng karena diombang-ambingkan ombak samudra maka saat menuju Gresik diisilah dengan batu-batu dan kerikil. Karena kuasa Allah maka bebatuan dan kerikil tadi berubah menjadi barang-barang kebutuhan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Gresik.Â
Sunan Giri menikah dua kali. Pagi hari menikah dengan Dewi Murthosiyah, putri Sunan Ampel. Sementara sorenya (Ashar) beliau menikahi Dewi Wardah, putri Ki Ageng Bungkul (Sunan Bungkul).
Sunan Giri wafat di usia 63 tahun, pada malam Jumat, tanggal 24 Rabiul Awwal tahun 913 Hijriyah (1428 Saka/1506 Masehi). Setiap tahun pada hari Jumat terakhir Rabiul Awwal diperingati sebagian umat Islam khususnya yang ada di daerah Gresik dan sekitarnya sebagai haul Sunan Giri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H