Masih segar di ingatan saya, ketika keponakan saya (anak kakak) baru sembuh dari sakitnya kemudian almarhum ibu meminta kakak untuk nanggap tandak bedes (topeng monyet) agar keponakan yang baru sembuh tadi menjadi gembira dan terhibur sehingga kondisi badannya semakin membaik.
Selain nanggap (menyewa) tandak bedes, almarhum ibu juga meminta kakak agar mbancaki anaknya yang baru sembuh dari sakit sebagai tanda syukur kepada Tuhan.
Makanan yang digunakan untuk acara bancakan (syukuran) tidak selalu berbentuk nasi dan lauk-pauk yang dalam pembuatannya membutuhkan biaya lebih banyak.Â
Bisa berupa makanan sederhana seperti bubur abang dan jajan pasar. Bubur abang (bubur merah) dibuat dengan menggunakan gula merah (gula Jawa).Â
Sedangkan jajan pasar (kue pasar) ialah kue-kue yang biasanya dijual di pasar seperti bikang, nagasari, kue lapis dan masih banyak lagi.
Makanan untuk acara bancakan kemudian dibagi-bagikan ke para tetangga dekat rumah.
Nanggap tandak bedes tentu mengundang perhatian anggota keluarga yang tinggal serumah selain itu juga para tetangga di kampung.Â
Suara keras alat semacam jidor yang ditabuh secara teratur oleh pemilik tandak bedes tak pelak membuat sebagian tetangga di kampung terutama para ibu dan anaknya keluar rumah.Â
Mereka berhamburan menuju rumah kami karena ingin menyaksikan aksi seekor monyet dengan iringan musik khas tandak bedes.
Tandak bedes dulu dan sekarang
Kala itu dengan ongkos cuma tiga atau lima ribu rupiah, sang tukang tandak bedes sudah berani menggelar atraksi monyet pintar dengan iringan jidor.
Berbeda dengan tandak bedes zaman sekarang, dulu hewan yang digunakan untuk pertunjukan bukan hanya monyet (Jawa = bedes / ketek) melainkan juga anjing dan ular.
Semua hewan yang digunakan untuk pertunjukan tandak bedes tentu sudah dilatih oleh pemiliknya agar jinak dan pintar. Sehingga dengan gampang mengikuti perintah majikannya.
Monyet yang sudah terlatih diminta beratraksi dengan membawa timba, pikulan, memasang topeng di mukanya, bermain sepeda dan atraksi-atraksi lainnya.
Anjing pun tak mau kalah. Ia beratraksi dengan berdiri dengan dua kaki belakangnya sambil menjulurkan lidahnya. Monyet kemudian naik ke punggung anjing sambil berputar-putar beberapa kali.
Yang paling ditunggu-tunggu oleh para penonton ialah atraksi ular. Setelah tukang mengeluarkan seekor ular dari kotaknya seketika itu para tetangga yang sedang menonton terperangah. Ekspresinya juga berbeda-beda, ada yang bersorak riang karena begitu senangnya melihat ular.Â
Ada yang ketakutan sehingga jemari tangannya mencengkeram bahu penonton lainnya.Â
Ular yang diperkirakan ular sawah jinak itu kemudian melilit pinggang sang tukang. Kadang bila dipegang ekornya dengan posisi kepala di bawah, spontan saja sang ular bergerak ke atas menuju ujung ekornya.
Semua atraksi baik monyet, anjing dan ular diiringi alat musik semacam jidor yang dipukul dengan alat khusus. Dung..dung..dung..dung.. begitu kira-kira bunyinya, sangat sederhana dan monotone.
Monyet beratraksi sendirian dengan beragam atraksi yang kurang lebih sama dengan atraksi tandak bedes zaman dulu.
Atraksi tandak bedes dewasa ini banyak kita temukan di antara kemeriahan Car Free Day atau di hiruk-pikuknya pasar kaget yang berlangsung di daerah tertentu.
Di era digital sekarang ini di mana internet sudah menjadi santapan sehari-hari. Nyatanya tandak bedes masih tetap eksis tak tergerus zaman. Terbukti masih menjadi alternatif tontonan meriah nan menghibur sebagian masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H