Berbeda dengan tandak bedes zaman sekarang, dulu hewan yang digunakan untuk pertunjukan bukan hanya monyet (Jawa = bedes / ketek) melainkan juga anjing dan ular.
Semua hewan yang digunakan untuk pertunjukan tandak bedes tentu sudah dilatih oleh pemiliknya agar jinak dan pintar. Sehingga dengan gampang mengikuti perintah majikannya.
Monyet yang sudah terlatih diminta beratraksi dengan membawa timba, pikulan, memasang topeng di mukanya, bermain sepeda dan atraksi-atraksi lainnya.
Anjing pun tak mau kalah. Ia beratraksi dengan berdiri dengan dua kaki belakangnya sambil menjulurkan lidahnya. Monyet kemudian naik ke punggung anjing sambil berputar-putar beberapa kali.
Yang paling ditunggu-tunggu oleh para penonton ialah atraksi ular. Setelah tukang mengeluarkan seekor ular dari kotaknya seketika itu para tetangga yang sedang menonton terperangah. Ekspresinya juga berbeda-beda, ada yang bersorak riang karena begitu senangnya melihat ular.Â
Ada yang ketakutan sehingga jemari tangannya mencengkeram bahu penonton lainnya.Â
Ular yang diperkirakan ular sawah jinak itu kemudian melilit pinggang sang tukang. Kadang bila dipegang ekornya dengan posisi kepala di bawah, spontan saja sang ular bergerak ke atas menuju ujung ekornya.
Semua atraksi baik monyet, anjing dan ular diiringi alat musik semacam jidor yang dipukul dengan alat khusus. Dung..dung..dung..dung.. begitu kira-kira bunyinya, sangat sederhana dan monotone.
Monyet beratraksi sendirian dengan beragam atraksi yang kurang lebih sama dengan atraksi tandak bedes zaman dulu.
Atraksi tandak bedes dewasa ini banyak kita temukan di antara kemeriahan Car Free Day atau di hiruk-pikuknya pasar kaget yang berlangsung di daerah tertentu.
Di era digital sekarang ini di mana internet sudah menjadi santapan sehari-hari. Nyatanya tandak bedes masih tetap eksis tak tergerus zaman. Terbukti masih menjadi alternatif tontonan meriah nan menghibur sebagian masyarakat kita.