Sudah seminggu belakangan ini warga Perumahan Sumput Asri Driyorejo, Gresik -- Jatim dibuat kalang kabut oleh ulah LPG (baca elpiji).Â
Lho kok bisa LPG berulah? LPGnya memang tidak akan pernah bikin ulah alias pasrah bongkokan, yang bikin ulah pasti mahluk yang bernama manusia.Â
Belum begitu jelas mengapa bahan bakar yang punya kepanjangan Liquified Petroleum Gas itu sempat menghilang dari peredaran di dalam kompleks perumahan, termasuk beberapa desa yang ada di sekitarnya.
Seperti Kita ketahui bersama, LPG merupakan bahan bakar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan.Â
Masyarakat yang tergolong mampu atau kurang mampu bahkan miskin sekalipun, baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan kini menjadikan LPG sebagai kebutuhan pokok, seperti halnya sembilan bahan pokok (sembako).
Di tengah-tengah masyarakat  memang masih kita temukan bahan bakar lain seperti blue gas, briket arang (batok kelapa) atau briket batu bara dan saluran gas melalui pipa Perusahaan Gas Negara (PGN).Â
Namun sementara ini LPG (3 kg) yang nota bene disubsidi pemerintah itu masih menjadi bahan bakar pilihan utama karena harganya yang relatif terjangkau oleh masyarakat kalangan bawah.
Bila dibandingkan, katanya sih memasak dengan menggunakan gas LPG dalam tabung akan lebih cepat matang ketimbang menggunakan produk lainnya seperti blue gas dalam tabung untuk volume makanan yang sama.
Dari sisi safety (keselamatan) blue gas memang lebih lembut daya bakarnya sekaligus aman. Sementara daya bakar gas LPG lebih kuat dan bersifat flameable - explosive (mudah terbakar dan meledak) kalau teledor menggunakannya.
Dengan semakin langkanya LPG karena pasokan yang tersendat-sendat menyebabkan banyak warga di perumahan menjadi gelisah terutama kaum emak-emak.Â
Sesuai teori ekonomi, harga barang akan melambung karena permintaan jauh lebih besar dari ketersediaan barang. Atau sesuai dengan konsep supply and demand (permintaan dan penawaran).Â
Akibatnya harga gas LPG tabung 3 kilogram yang biasanya Rp. 18.000,- kini menjadi Rp. 20.000,- pertabungnya, bahkan lebih.
Belajar dari kearifan di desa
Mereka sudah terbiasa memasak dengan cara yang praktis dan nggak ribet. Sekali tekan pemantik lalu joss.., keluarlah api yang siap mendidihkan air atau mematangkan masakan.Â
Bagi mereka yang hidup di desa atau di manapun yang mungkin saja terbiasa menggunakan bahan bakar selain gas untuk memasak, tentu tidak terlalu pusing dan panik akibat langkanya LPG tadi. Bahkan mereka merasa tenang-tenang saja.Â
Mereka terutama penduduk di daerah pedesaan di mana hampir setiap rumah menggunakan tungku untuk menyalakan api dari ranting atau potongan kayu bakar toh tetap bisa memasak untuk kebutuhan makan mereka sehari-hari.
Menggunakan briket arang atau batu bara dan kayu bakar untuk memasak memang nggak efektif karena harus menyalakan briket atau kayu bakar terlebih dulu. Sangat berbeda dengan teknologi kompor gas yang lebih efisien.
Dapur masyarakat desa didisain sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk bisa memasak dengan kayu atau briket dalam sebuah tungku. Kadang tungku dibuat bisa untuk memasak empat (4) wadah sekaligus.Â
Memasak dengan kayu bakar memang menimbulkan asap dan bau sangit. Katanya sih dengan sistem memasak yang sederhana itu justru menghasilkan rasa masakan yang unik dan khas.
Tidak hanya ranting kering, potongan kayu yang sudah tidak terpakai, sabut kelapa dan batoknya juga bisa dijadikan bahan bakar.Â
Mengingat penduduk desa umumnya memiliki pekarangan yang cukup luas untuk ditanami kelapa dan tanaman produktif lainnya maka penyediaan bahan bakar seperti itu tidak perlu membeli alias gratis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H