Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika "Jaran Kepang" Dipadukan dengan "Marching Band"

30 Agustus 2018   22:17 Diperbarui: 31 Agustus 2018   17:24 2479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenalkan kesenian tradisional sejak dini (dok.pri)

Kesenian tradisional khususnya yang berasal dari Provinsi Jawa Timur seperti Reog Ponorogo, ludruk, jaran kepang (kuda lumping) bukan hanya menarik untuk ditonton namun kini keberadaannya mulai langka. 

Jangankan warga asli Jawa Timur (Jatim), orang asing (turis) yang kebetulan melancong ke daerah-daerah di Jatim pasti terkesima kalau berkesempatan menyaksikan atraksi reog dan jaran kepang itu. 

Jaran Kepang kurang atraktif lagi

Seperti diketahui bersama baik reog maupun jaran kepang atau disingkat kepang. Ada juga yang menyebutnya jaranan, merupakan kesenian tari tradisional yang melibatkan unsur magis dalam pementasannya. 

Magis di sini maksudnya seorang anggota yang dipercaya sebagai pawang (dukun) dan identik dengan sesepuh kelompok kesenian itu ditugasi melakukan ritual memanggil kekuatan gaib (roh). 

Ritual dilakukan dengan prosesi tertentu disertai sesajen dan yuswa (kemenyan) serta para pemain ditutupi kain, sang pawang komat-kamit membaca doa-doa (mantra) tertentu hingga para pemain mengalami trans (kesurupan).

Dalam keadaan kesurupan (Jawa = ndadi) sang pemain akan membawakan atraksinya tanpa rasa lelah karena dibantu kekuatan gaib yang merasuki dirinya. 

Berbagai atraksi yang dimainkan oleh para pemain jaran kepang seperti mengunyah-ngunyah beling, makan ayam hidup, berguling-guling di atas pecahan beling, sembur api, makan kelapa yang terlebih dulu dikupas memakai mulutnya serta masih banyak atraksi menarik sekaligus mendebarkan lainnya, tentu saja berbagai atraksi itu akan mengundang decak kagum para penonton (lokal) terutama turis asing yang sulit percaya akan hal-hal yang berbau mistis dan irasional.

Sayangnya belakangan ini atraksi seru yang paling dinantikan para penonton semakin jarang terlihat karena kesenian jaran kepang itu sendiri juga semakin jarang dipentaskan. 

Kini orang lebih tertarik untuk nanggap band atau elektone ketimbang jaran kepang karena band atau elektone dianggap lebih murah-meriah, kekinian juga sesuai untuk selera kaum milenial.

Kesenian tradisional seperti ludruk, wayang orang, wayang kulit, reog dan jaran kepang paling hanya ditampilkan kalau ada acara-acara penting yang bersifat formal pemerintahan (kenegaraan), pada festival-festival (parade) budaya, pentas seni dan pawai atau karnaval tujuh belasan.

Umumnya pementasan kelompok kesenian tradisional jaran kepang, reog, ludruk dan lainnya melibatkan banyak pemain sehingga biaya nanggap (menyewa, red) nya relatif mahal. Hanya orang-orang tertentu saja (yang berduit) dan memang suka pergelaran kesenian tradisional yang tertarik untuk nanggap.

Kadang pergelaran kesenian tradisional jaran kepang tidak seperti yang diharapkan, atraksi seru nan unik seperti makan pecahan kaca dan lainnya ditiadakan gegara pemainnya tidak ada yang menguasai keahlian itu seperti para pendahulunya. Sehingga permainan kesenian tari jaran kepang menjadi tidak atraktif lagi dan kurang seru.

Kesulitan mencari kader  

Mengenalkan kesenian tradisional sejak dini (dok.pri)
Mengenalkan kesenian tradisional sejak dini (dok.pri)
Masalah klasik yang sering dijadikan alasan mengapa kesenian tari jaran kepang kurang berkembang bahkan semakin langka dari waktu ke waktu itu karena sulitnya mencari kader (penerus) yang melanjutkan jejak langkah seniman pendahulunya. 

Mengenalkan kesenian tradisional asli Indonesia kepada anak-anak (generasi muda) sangatlah penting. Anak-anak dan kaum muda merupakan kelompok yang suka penasaran dan ingin selalu mencoba. Diharapkan setelah mencoba akan timbul rasa suka dan menjadikan kesenian tradisional tadi menjadi bagian dari hidupnya.

Para kader (pemain muda) mungkin saja kurang mendapatkan pembinaan secara intensif. Boleh jadi sudah dilakukan pembinaan namun pemain muda tadi masih kurang maksimal dalam mengolah potensi dirinya. Untuk berlatih atraksi yang membahayakan para kader tadi merasa keder dan memilih atraksi yang biasa-biasa saja.

Kesungguhan dan keterlibatan pihak-pihak yang terkait dengan kesenian tradisional yang akan menjadi pelindungnya tentu sangat diharapkan agar kesenian tradisional tadi tidak tergerus zaman.

Kesenian tari jaran kepang saat ini mungkin tidak serta merta lenyap dari khazanah budaya Indonesia namun kualitasnya sudah tidak seperti dulu lagi. 

Masih cukup banyak kelompok kesenian jaran kepang yang masih eksis dan terlihat melakukan pementasan-pementasan di mana-mana namun terasa sangat biasa. 

Masalah kostum atau busana yang dipakai para pemainnya mungkin saja tidak mengalami penurunan kualitas bahkan semakin bagus bahannya namun pemainannya sudah tidak sesuai dengan aturan (pakem) yang telah dipegang teguh oleh seniman pendahulunya.  

Busana jaran kepang kini bisa dipakai oleh siapa saja tak harus pemain aslinya dan tak perlu keahlian khusus untuk mempertontonkan atraksinya. 

Di tengah gencarnya pengaruh kesenian asing, sedikit atau banyak akan menggeser kesenian tradisional yang merupakan unsur kebudayaan nusantara. Kenyataan memang menunjukkan kalau kaum muda dewasa ini gregetnya kurang terhadap kesenian tradisional.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan agar kesenian tradisional tidak mati antara lain memadukannya dengan kesenian atau budaya asing (modern) yang sudah diterima oleh masyarakat Indonesia.

Anak-anak bermain marching band (dok.pri)
Anak-anak bermain marching band (dok.pri)
Kelompok kesenian tradisional jaran kepang kadang tidak memerlukan seperangkat alat gamelan untuk mengiringi para pemain yang sedang beratraksi atau berpawai di jalan melainkan menggabungkannya dengan kelompok marching band, sehingga lebih bisa diterima kaum milenial dan terkesan kekinian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun