Hari Raya Idul Fitri merupakan hari kemenangan, hari bahagia. Hari yang paling ditunggu-tunggu oleh umat Islam setelah menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadan sebulan penuh lamanya.
Malam terakhir Ramadan bergema takbir, mengagungkan Asma Allah. Gema takbir (takbiran) berkumandang di mana-mana menandakan berakhirnya ibadah puasa Ramadan dan keesokan harinya, tepat 1 Syawal umat Islam sudah tidak berpuasa lagi dan merayakan Idul Fitri.
Pagi harinya umat Islam disunahkan menunaikan ibadah Sholat Idul Fitri dua rokaat secara berjamaah.
Usai menunaikan ibadah Sholat Idul Fitri berjamaah di masjid, di lapangan atau bahkan di pinggir jalan raya, sebagian umat Islam nih biasanya melakukan tradisi saling memaafkan (bermaaf-maafan) meski mereka masih berada di tempat Sholat Id diadakan.
Sepulang dari Sholat Id, sampai di rumah, mereka masih melanjutkan tradisi bermaaf-maafan dengan para tetangga dekat rumah, anak, orang tua atau anggota keluarga lainnya.
Saling Memaafkan di Hari Raya Idul Fitri Â
Saling memaafkan di Hari Raya Idul Fitri bukan saja merupakan tradisi yang telah terpelihara sekian lama namun juga suatu perbuatan yang sangat dianjurkan oleh Agama Islam.Â
Saling memaafkan bisa dilakukan kapan saja, tidak perlu menunggu hari raya datang. Namun saling memaafkan yang berbarengan dengan momen lebaran memang maknanya terasa begitu dalam.Â
Anak memohon maaf kepada kedua orang tua atau sebaliknya. Saling memaafkan antara adik dan kakak. Serta saling memaafkan di antara anggota keluarga atau sanak kerabat lainnya.
Prosesi saling bermaaf-maafan ini bagi sebagian masyarakat Jawa dinamakan dengan tradisi sungkeman.
Mengingat sebelumnya kaum muslimin dan muslimat telah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan sebulan penuh lamanya. Saling memaafkan menjadi salah satu penyempurnaan ibadah puasa yang sebulan penuh telah dijalankan.
Ziarah Makam Orang Tua atau Leluhur
Bukan hanya pasar, mal, stasiun dan terminal yang penuh dengan orang di saat lebaran. Kompleks pemakaman (kuburan) juga ramai diziarahi orang.Â
Sebelum menjalankan puasa Ramadan orang-orang itu menziarahi makam orang tua atau para leluhurnya. Saat menjelang hari raya atau bahkan saat hari H nya mereka juga menziarahi kembali pusara orang tua atau anggota keluarga lainnya.
Menziarahi pusara orang tua, anggota keluarga lainnya atau para leluhur bisa dilakukan kapan saja tidak harus menunggu saat lebaran tiba.
Ziarah makam hakekatnya adalah memohonkan ampunan kepada Allah atas semua dosa almarhum atau almarhumah kedua orang tua atau anggota keluarga lainnya agar mereka mendapatkan tempat terbaik di sisiNya.
Kunjung Mengunjungi (Unjung-Unjung)
Saling mengunjungi atau istilah Jawanya unjung-unjung juga menjadi tradisi yang tak lepas dari momen lebaran. Seperti halnya saling memaafkan dan ziarah kubur, unjung-unjung juga bisa dilakukan kapan saja.
Saling mengunjungi menjadi sarana menyambung kembali tali silaturrahim (hubungan persaudaraan) antar anggota keluarga.Â
Mungkin saja hubungan persaudaraan menjadi renggang atau bahkan kurang harmonis gegara jarak yang memisahkan para anggota keluarga atau hubungan yang selama ini memang kurang terbina dengan baik maka lebaran akan menjadi momen yang tepat untuk merekatkan kembali tali silaturrahim yang renggang itu.
Kebiasaan unjung-unjung tak bisa dilepaskan dari kue-kue lebaran dan makanan khas lebaran. Mereka yang unjung biasanya dijamu dengan kue, ketupat sayur atau minuman yang sudah disiapkan di atas meja. Tradisi ini terasa lain bila dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Unjung-unjung esensinya adalah saling memaafkan dan mempererat kembali tali silaturrahim. Selain kue-kue atau makanan lebaran, yang juga mentradisi adalah pembagian angpao atau salam tempel kepada keponakan atau anggota keluarga lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H