Saat menunaikan ibadah puasa di bulan suci Ramadan, tantangannya biasanya sih kita lebih berat menahan rasa haus ketimbang lapar. Ketika akan berbuka atau bahkan selama menjalani puasa seharian itu muncul hasrat (nafsu) untuk melahab habis semua makanan dan minuman yang ada.Â
Setiap muslimin dan muslimat yang sedang menjalankan ibadah puasa tentu punya cara sendiri-sendiri untuk menyegerakan berbuka puasa. Ada yang berbuka puasa di rumah saja, di warung atau restoran dan bahkan ada yang berbuka puasanya dengan berburu takjil di mushola, masjid atau tempat di pinggir jalan.
Selain minum air putih yang cukup, kadang saya lebih memilih minum teh manis hangat ketimbang es teh. Sesuai ajaran agama, berbukalah dengan yang manis. Seharian tubuh dan lambung tidak menerima asupan cairan, dengan minum teh manis hangat selain menjadikan lambung tidak shock, manisnya air teh tadi juga berfungsi sebagai sumber energi.
Setelah membatalkan puasa dengan minum secukupnya, para jamaah masjid dan pemburu takjil bersama-sama menunaikan Sholat Maghrib. Selesai sholat, saya melanjutkan kembali menikmati makanan utama atau makanan penyela (ringan) seperti kolak, bubur atau kue-kue dari bahan tepung seperti Donat, Nagasari, Putu Ayu dan kalau ada tentu buah kurma serta masih banyak lagi makanan yang fungsinya menimbulkan rasa kenyang di perut.
Sekedar diketahui, kabarnya nih istilah "takjil" yang biasa kita gunakan untuk menyebut makanan atau minuman untuk berbuka puasa itu ternyata merupakan perbendaharaan Bahasa Arab yang artinya menyegerakan berbuka puasa. Rupanya masyarakat kita sudah telanjur salah kaprah dengan kata takjil itu.
Dari sekian banyak takjil yang disediakan panitia masjid atau mushola, beberapa diantaranya menjadi favorit saya namun belakangan ini mulai jarang terlihat.Â
Kesukaan akan luwo, kolang-kaling dan timun mas itu masih tetap bertahan hingga sekarang. Di rumah, setiap Ramadan tak jarang kami menyediakan buah-buahan itu sebagai penyegar selain makanan utama.Â
Sayangnya dengan semakin berkurangnya lahan untuk budidaya labu bligo (blonceng) dan timun mas tak pelak menyebabkan buah-buahan unik itu mulai jarang saya temukan di pasaran. Sedangkan pohon buah kolang-kaling juga mulai langka karena banyak ditebangi untuk bahan membuat rumah warga pedesaan.
Masih segar di ingatan resep manisan blonceng (luwo) yang biasa dibuat oleh almarhum ibu kami. Biasanya sang istri juga menggunakan resep itu untuk membuat manisan blonceng sendiri.
Cara Membuat Luwo dan Manisan Kolang-kalingÂ
Pilihlah buah blonceng yang matang (tua), berat dan dengan daging buah yang tebal. Kupas kulitnya lalu potong kecil-kecil sesuai selera. Sebagian orang menggunakan pisau (alat potong) bergerigi agar dihasilkan irisan-irisan blonceng dengan bentuk yang unik pula.Â
Potongan-potongan blonceng tadi kemudian direndam dalam air kapur sirih yang bening (Jawa = dikum beninge apu / enjet) sekitar beberapa jam atau ada yang sampai 10 jam. Katanya sih supaya potongan buah blonceng tadi menjadi atos tapi empuk dan terasa nyes bila digigit.
Potongan blonceng lengkap dengan bumbu dan gula lalu direbus hingga matang. Tambahkan pewarna yang memang khusus untuk makanan dengan varian warna sesuai selera.
Membuat manisan kolang-kaling lebih simpel lagi karena tidak perlu direndam dalam air kapur sirih. Caranya, buah kolang-kaling dicuci bersih. Tempatkan dalam panci, tambahkan air sesuai selera dan bahan lain berupa jahe, pewarna makanan, pandan, kayu manis atau keningar dan gula. Masak sampai matang.Â
Kabarnya, berbuka puasa dengan menggunakan luwo, kolang-kaling dan timun mas yang dikonsumsi segar menjadikan lambung kita terasa adem (nyaman) dan tidak nyeri karena seharian berpuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H