Cerita Joko Jumput untuk pertama kalinya saya dengar ketika kala itu, sekitar tahun tujuh puluhan marak kesenian ludruk yang menjadi acara andalan stasiun Televisi Republik Indonesia Surabaya (sekarang TVRI Jawa Timur).Â
Bahkan tak jarang kesenian ludruk yang menampilkan lakon Joko Jumput juga diputar di stasiun-stasiun radio di Surabaya, tak terkecuali Radio Republik Indonesia (RRI) Surabaya.
Kisah kepahlawanan Joko Jumput mungkin sudah ada sejak ratusan tahun silam. Almarhum orang tua atau kakek buyut kami mungkin sudah lebih dulu mendengar cerita tokoh yang dipercaya sebagai cikal-bakal berdirinya Kota Surabaya itu.Â
Ingatan saya di masa silam tentang lakon Joko Jumput yang sering ditampilkan dalam kesenian ludruk ternyata bisa menjadi bahan berharga saat saya melakukan penyusuran, selain itu catatan atau karya tulis dari penulis sebelumnya akan menambah khasanah pandang saya tentang pembabat hutan Surabaya yang saat ini mungkin sudah dilupakan kebanyakan warga Surabaya itu.
Joko Jumput dengan berbagai versi kisahnya ternyata bukan sekedar lakon yang berisi cerita fiktif hasil rekaan para seniman ludruk. Sejatinya dongeng tentang Joko Jumput sungguhan ada lho. Kompleks pusara beliau sebagai bukti jejaknya di masa silam bisa kita saksikan di kawasan Jalan Praban Surabaya.
Meski kawasan Jalan Praban itu mudah dijangkau dengan kendaraan umum maupun pribadi serta lokasinya yang berada di pusat keramaian Kota Surabaya namun bagi masyarakat awam, letak makam Joko Jumput itu agak sulit untuk ditemukan.Â
Di antara bangunan pertokoan yang ada di Jalan Praban, persis di seberang gedung SMP Negeri 3 itulah makam Joko Jumput berada. Belum ada papan nama atau penanda berukuran besar yang menyebutkan kalau di lokasi itulah kuburan Joko Jumput dan keluarganya berada.
Untuk menggali informasi seputar kisah Joko Jumput di masa lalu, saya harus mewawancarai juru kunci (juru pelihara) situs makam sosok yang disebut-sebut sebagai asal-muasal berdirinya Kota Surabaya itu.
Karena tak ingin kunjungan saya sia-sia maka berangkatlah saya menuju rumah Pak Kusnandar yang sudah beberapa bulan ini dipercaya warga setempat untuk menggantikan juru kunci sebelumnya.
Rumah Pak Nandar, demikian sapaan akrab Kusnandar berjarak beberapa ratus meter dari situs makam Joko Jumput. Bisa ditempuh dengan berjalan kaki melewati gang kecil di kawasan Praban atau berkendara roda dua dan empat, masuk dari kawasan Baliwerti Surabaya.Â
Saat memasuki Praban gang III, setiap pengendara harus berjalan kaki. Setelah bertanya kepada salah seorang warga, tahulah saya kalau rumah yang di depannya terdapat lapak gado-gado itulah kediaman Pak Nandar dan keluarganya.
Kami akhirnya saling berjabat tangan dan memperkenalkan diri. Tak lama kemudian kami bersama-sama berjalan kaki menuju situs makam Joko Jumput.Â
Tak seperti kompleks makam tokoh atau pahlawan pada umumnya, situs makam Joko Jumput ini terbilang kecil, berada di ruangan yang sempit. Nyaris tak terlihat, terhimpit bangunan-bangunan besar di antara hiruk-pikuknya kawasan Jalan Praban. Seperti diketahui bersama, selama ini Jalan Praban menjadi sentra perdagangan (pertokoan) khususnya dalam dunia persepatuan.
Setelah membukakan pintu gerbang makam yang terbuat dari besi itu kemudian  Pak Nandar mempersilahkan saya masuk ke dalam ruangan tempat persemayaman Joko Jumput dan keluarganya.
Pak Nandar memulai ceritanya bahwa sekitar tahun 1984 di kawasan pertokoan Jalan Praban pernah terjadi kebakaran hebat. Setelah warga bergotong-royong membersihkan puing-puing bangunan ternyata ditemukan beberapa batu nisan kuno.Â
Para tokoh masyarakat dan warga Praban masih bertanya-tanya, milik siapakah batu nisan itu. Akhirnya mereka sepakat untuk mendatangkan orang pintar (paranormal) guna menerawang secara batin dan menemukan siapa sosok yang disemayamkan dengan ditandai batu nisan itu.Â
Sumber lain menyebutkan bahwa makam kuno milik Joko Jumput dan keluarganya sudah lama ada (ditemukan) namun tidak terawat. Setelah peristiwa kebakaran hebat yang melahab bangunan pertokoan yang ada di samping makam ternyata kuburan kuno itu tidak ikut terbakar. Di situlah warga mulai melakukan pemeliharaan lebih serius hingga sekarang.
Untuk kesekian kalinya masyarakat Praban kembali mendatangkan paranormal. Sang paranormalpun mengeluarkan segenap kemampuannya dan mencoba menerawang dengan mata batinnya kemudian menyimpulkan kalau suara itu adalah suara gaib kuda yang ditunggangi Joko Jumput lengkap dengan dokar (delman) nya.
Sejak kejadian itu masyarakat Praban percaya kalau batu nisan kuno yang ditemukan setelah terjadinya kebakaran hebat 34 tahun silam itu adalah batu nisan milik Joko Jumput yang menjadi pembabat hutan wilayah Praban dan Surabaya pada umumnya.Â
"Yang nisannya runcing itu milik Joko Jumput, di sampingnya adalah nisan ibu angkatnya" terang Pak Nandar yang awal tahun 2017 lalu diangkat menjadi juru kunci.
Lebih lanjut bapak dengan 3 anak dan 2 cucu itu mengatakan kalau 2 makam lainnya adalah milik Dewi Ambarwati (sumber lain menyebutnya Purbowati) dan makam pengawal Joko Jumput.Â
Selain dipercaya warga sebagai juru kunci situs makam Joko Jumput, bapak kelahiran 68 tahun silam itu juga aktif di organisasi Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat (IPSM) Kelurahan Alun-alun Contong, Kecamatan Bubutan Surabaya.
"Kawasan Praban itu dulunya bernama Praban Kinco" ujar Pak Nandar menirukan cerita dari para leluhurnya.Â
Kata Praban berasal dari kata prabu yang artinya raja. Diperkirakan dulu Praban merupakan tempat kediaman para prabu (raja). Beberapa perkampungan (daerah) di sekitar Praban yang ditengarai dulunya merupakan sebuah kerajaan adalah Tumenggungan, Kepatihan dan Bubutan.
"Sejak kecil Joko Jumput dipelihara oleh perempuan janda peracik jamu yang dijuluki Mbok Rondo Praban Kinco" imbuh lelaki asli Praban yang kesehariannya membantu sang istri tercinta berjualan makanan itu.
Pada kurun waktu tertentu dikisahkan bahwa Joko Jumput melakukan pertarungan melawan para kesatria (raja) yang sakti. Joko Jumput selalu mengalami kekalahan. Sampai suatu ketika ia yang terluka parah itu meminta pertolongan sang ibu yang dikenal sebagai ahli pembuat jamu.Â
Luka parah yang diderita Joko Jumput tak lama kemudian sembuh kembali. Sang ibu kemudian membekali Joko Jumput dengan cemeti (cambuk) yang memiliki kesaktian tiada tara. Para kesatria dari kerajaan lain itupun bisa ditaklukkan hingga pada akhirnya berhasil mempersunting Dewi Ambarwati.
Diperkirakan kisah kepahlawanan Joko Jumput itu berlangsung pada kurun waktu 1600 sampai 1700 masehi, di mana kala itu Surabaya masih dibawah kekuasaan kolonialisme Belanda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI