Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Mengunjungi Pusara Nyai Ageng Tumengkang Sari, Ahli Jamu di Zaman Sunan Giri

14 Maret 2018   20:49 Diperbarui: 14 Maret 2018   20:58 1082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nisan Nyai Ageng Tumengkang Sari (dok.pri)

Kisah tentang perjuangan Sunan Giri dalam menyebarkan Islam di Indonesia khususnya di Pulau Jawa bukan saja menarik untuk disimak namun juga patut dijadikan teladan bagi generasi muda. Di masa kekuasaannya, sunan yang punya nama lain Raden Paku itu juga dikenal sebagai seorang waliyullah yang arif bijaksana dan sangat disegani para wali lainnya sehingga sepak terjang dan keputusannya dalam mengatasi persoalan umat dan Agama Islam sangat diperhatikan oleh umat Islam pada masa itu. Beliau juga seorang raja di Kerajaan Giri Kedaton Gresik dengan dianugerahi gelar Prabu Satmata (baca = Satmoto).

Selain Raden Paku dan Prabu Satmata, Sunan Giri juga memiliki panggilan lain yakni Muhammad Ainul Yaqin, sebuah gelar yang diberikan ketika beliau tamat dari Pesantren Sunan Ampel Surabaya. Sumber lain menyebut dengan nama Maulana Ainul Yaqin, mungkin karena mengadopsi nama depan ayahanda beliau yakni Syeh Maulana Ishaq. 

Sebagai seorang anggota Wali Songo (Wali Sembilan, red), wawasan ilmu fiqih Sunan Giri memang tak disangsikan lagi, karena pengetahuannya yang mendalam dalam mengajarkan ilmu fiqih kepada umat Islam kala itu maka beliau juga memperoleh julukan Sultan Abdul Faqih.

Kompleks pusara keluarga Sunan Giri dan beberapa peninggalannya berada di kawasan Sidomukti -- Kebomas, Gresik. Beberapa peninggalan beliau seperti Telaga Pegat dan tembok sisa Kerajaan Giri Kedaton masih bisa kita saksikan hingga sekarang. Sebagian lagi disimpan di Museum Sunan Giri yang gedungnya berada di bagian depan gerbang masuk menuju kompleks pusara beliau. Sayangnya museum ini terakhir saya kunjungi (31/01/2018) masih belum diresmikan penggunaannya untuk dikunjungi masyarakat luas.

Sunan Giri menikahi dua (2) orang perempuan, yaitu Dewi Murthosiyah putri Sunan Ampel dari Surabaya dan Dewi Wardah yang tak lain adalah anak perempuan dari Ki Ageng Bungkul, Surabaya. Dari hasil pernikahan beliau dengan dua perempuan tadi lahirlah anak-anak dan cucu-cucu yang umumnya juga menjadi sunan dan pejuang Islam di Pulau Jawa.

Sunan Weruju misalnya, beliau adalah putra Sunan Giri dari hasil pernikahannya dengan Dewi Murthosiyah. Sunan Weruju sendiri memiliki seorang putri bernama Nyai Ageng Tumengkang Sari. Belum diketahui secara jelas siapa perempuan yang telah dinikahi Sunan Weruju itu, jadi Nyai Ageng Tumengkang Sari boleh dikatakan sebagai cucu Sunan Giri.

Nisan Nyai Ageng Tumengkang Sari (dok.pri)
Nisan Nyai Ageng Tumengkang Sari (dok.pri)
Kompleks pusara Nyai Ageng Tumengkang Sari berada di luar kompleks makam Sunan Giri di Kebomas Gresik, tepatnya terletak di Desa Sumur Songo, Kelurahan Sidokumpul -- Gresik. Masyarakat asli Desa Sumur Songo dan sekitarnya juga menjuluki Nyai Ageng Tumengkang Sari dengan sebutan Mbah Buyut Sumur Songo atau Nyai Ageng Pamengkang Sari atau Nyai Ageng Pemangku Sumur Songo.

Sebagai cucu Sunan Giri, Nyai Ageng Tumengkang Sari kala itu juga sangat berjasa pada perkembangan Islam dan masyarakat sekitarnya. Karena jasanya itulah hingga kini pusaranya banyak diziarahi orang. Semasa hidupnya beliau juga dikenal sebagai perempuan yang ahli dalam pembuatan jamu (pengobatan) dan kebidanan dengan menolong ibu-ibu yang akan melahirkan.  Sebagian masyarakat masih percaya dengan bermunajad di pusara Nyai Ageng Tumengkang Sari maka proses persalinan bayinya akan menjadi gangsar (muda dan lancar, red). Para peziarah itu biasanya membawa minyak kelapa dan air dari Sumur Songo yang diyakini berkhasiat terutama membantu proses melahirkan.

Dinamakan Dusun Sumur Songo (Sumur Sembilan, red) karena waktu itu Nyai Ageng Tumengkang Sari untuk pertama kalinya babad alas(membuka hutan, red) di kawasan yang sekarang bernama Sido Kumpul Gresik. Beliau dan para pengikutnya membuat sumber air (sumur, red) berjumlah Sembilan (9). Namun sayangnya hingga saat ini hanya beberapa sumur saja yang berhasil ditemukan, itupun terletak di antara pemukiman warga setempat.

Ada perbedaan pandangan mengenai pemberian nama cucu Sunan Giri itu. Mengingat semasa hidupnya beliau sangat ahli dalam pembuatan jamu dan banyak menolong perempuan yang akan melahirkan maka nama yang lebih sesuai adalah Nyai Ageng Pamengkang Sari. Pamengkangmerupakan istilah dalam Bahasa Jawa dari kata mekangkang yang berarti menjauhkan posisi kaki satu dengan kaki yang lain yang dijumpai pada saat perempuan akan melahirkan bayi.

Boleh jadi sebagian masyarakat menyebut nama Tumengkang Sari karena proses idiolek (pengucapan perseorangan) yang keliru dan berlangsung terus-menerus selama ratusan tahun. Kata pamengkang mengalami morfologi menjadi tumengkang.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Cungkup pusara telah mengalami renovasi berulang kali hingga tampak seperti sekarang ini. Di dalam cungkup utama terdapat nisan Nyai Ageng Tumengkang Sari dan Buyut Susilowatiyang menjadi dayang (pengikut, red) setia beliau. Di sekitar cungkup utama juga kita temukan beberapa nisan yang diyakini sebagai pengikut sang Nyai Ageng yang juga sangat berjasa membantu proses persalinan, mereka itu antara lain Mbah Brojol(Brojol = melahirkan) dan Mbah Goplo.

Sebuah batu andesit berbentuk lumpang yang kala itu dipergunakan untuk membuat jamu masih bisa kita saksikan di halaman cungkup utama. Sayangnya alu yang berfungsi sebagai penumbuk bahan jamu tidak saya temukan, entah ke mana? hilang atau disimpan, saya kurang tahu.

Kompleks makam Islam Sumur Songo yang ada di Kelurahan Sido Kumpul Gresik itu termasuk salah satu kompleks makam yang terawat dengan sangat baik. Pengelola makam sudah membuatkan jalan berpaving agar pengunjung merasa nyaman berjalan saat berziarah di sana. Gedung sebagai tempat merayakan haul Nyai Ageng Tumengkang Sari yang rutin diselenggarakan setiap tahunnya pada tanggal 12 Syafar juga sudah berdiri di sana.

Satu lagi pemandangan menarik yang kita temukan saat berziarah ke kompleks pusara Nyai Ageng Tumengkang Sari ialah di sekitar makam utama itu banyak kita temukan kuburan dengan batu nisan berbentuk unik. Batu nisan kuburan tua yang tidak diketahui secara jelas siapa yang dikebumikan di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun