Pernahkah kita mendengar pemberitaan di TV atau media utama lainnya, ada seorang ibu yang berbuat kejam, di luar batas kemanusiaan sampai tega menganiaya anak kandungnya sendiri. Tidak hanya menganiaya bahkan berbuat sangat keji hingga menghilangkan nyawa anaknya.Â
Naudzubillah.., namun cerita-cerita miring yang sangat memilukan itu tak pernah menggoyahkan citra baik seorang ibu. Begitu besar jasa atau kebaikan-kebaikan yang telah diperbuat seorang ibu kepada anak-anaknya, sosok ibu yang sebenarnya juga manusia biasa itu sangat dijunjung tinggi dalam agama maupun kehidupan bermasyarakat.
Saking tingginya kedudukan ibu di mata anak-anaknya, kemudian banyak orang mewujudkan berbagai bentuk apresiasi atau pujian untuk sang ibu tersayang antara lain lewat peribahasa, nyanyian atau bentuk-bentuk apresiasi lainnya.
Kasih Ibu Tiada Batas
"Kasih ibu sepanjang jalan, kasih anak sepanjang galah. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang penggalan". Kata "jalan" dan "masa" pada kalimat peribahasa ini menggambarkan kasih sayang ibu kepada anak-anaknya yang nyaris tiada batas. Sedangkan kasih sayang anak kepada orang tua, khususnya ibu masih ada batasnya, hal itu dilukiskan dengan kata "galah" atau "penggalan" dalam kalimat peribahasa ini.
"Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia". Lagu ciptaan SM. Mochtar ini juga menceritakan betapa kasih sayang ibu itu tak terhingga, tak terbatas oleh ruang dan waktu. Seorang ibu tak berharap balasan atas semua kebaikan yang telah diperbuat untuk anak-anaknya. Ibarat matahari yang setiap saat menyinari bumi ini.
"Ribuan kilo jalan yang kau tempuh, Lewati rintang (an) untuk aku anakmu, Ibuku sayang masih terus berjalan, Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah, Seperti udara kasih yang engkau berikan, Tak mampu ku membalas..ibu". Sang penyanyi legendaris sekaliber Iwan Fals mengajak para penggemarnya untuk secara bersama-sama mengenang jasa atau kebaikan seorang ibu.Â
Oleh penyanyi senior bersuara berat itu, ibu digambarkan sebagai sosok yang berjuang tanpa mengenal lelah demi anak-anaknya. Kasih sayang seorang ibu tak terbatas, seperti udara yang kita hirup setiap saat itu. Sebagai anak jelas tak akan sanggup membalas semua kebaikan yang telah diberikan ibu.
Agama Islam melalui rasulnya, Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa sosok yang pertama kali menjadi tempat berbakti adalah ibu (umi), kedua juga ibu, ketiga masih ibu, baru yang keempat adalah bapak (abi). Tak berlebihan kiranya bila ada pernyataan sakral "surga di bawah telapak kaki ibu" karena sedemikian tinggi kedudukan ibu.Â
Agamapun sangat menjunjung tinggi kedudukan ibu, dengan ridho (restu) seorang ibu pula sesuatu yang mustahil bisa saja terjadi. Mari kita tengok kembali sejarah masa silam, cerita rakyat Sarib Tambak Osodari Jawa Timur. Ketulusan dan doa sang ibu membuat seorang pejuang seperti Sarib ini bisa bangkit kembali dari kematiannya akibat tertembus peluru kaum penjajah dan anteknya.
Sebaliknya, sebagai anak kita juga harus berhati-hati memperlakukan ibu kita. Jangan sampai berkata kasar apalagi sampai tega berbuat durhaka kepada ibu kita. Seperti pada cerita rakyat Malin Kundang Si Anak Durhakodari Padang, Sumatra. Malin Kundang tak mengakui ibu kandungnya yang telah melahirkan dan merawatnya selama ini. Ibunya sangat murka, karena laknat seorang ibu, Malin Kundang bisa berubah menjadi patung batu. Â
Dari rahim seorang ibu kemudian lahir para nabi dan rasul, kesatria, pahlawan serta para pemimpin dunia lainnya yang sangat besar jasanya bagi umat manusia di muka bumi ini.Â
Seorang ibu bukan hanya mempertaruhkan nyawa sewaktu melahirkan kita namun ia juga menyusui dan memelihara kita hingga menjadi manusia dewasa yang mandiri. Sebagai anak kita harus patuh dan tunduk kepada kedua orang tua kita terutama ibu selama nasehat dan perintah mereka tidak melanggar moral dan agama. Â
Lemari Kuno, Ungkapan Kasih Sayang Ibu Untukku
Sebagai anak, sayapun tak bisa menggambarkan betapa besarnya rasa sayang ibu kami kepada semua anak-anaknya tak terkecuali kepada saya. Seorang ibu bagi saya adalah seperti pepunden (sesuatu yang sangat dihormati, red). Setiap hembusan nafas atau kerdipan mata seorang ibu adalah doa bagi saya. Saya tak akan sanggup membalas semua kebaikan ibu, sejak melahirkan, menyusui, mengasuh dan merawat hingga saya menjadi manusia dewasa yang mandiri. Sungguh saya tak mampu membalas semua itu.
Doa (restu) orang tua adalah ridho Allah, doa adalah salah satu ungkapan pemberian kasih sayang seorang ibu untuk anak-anaknya. Ibu dengan tulus -- ikhlas mendoakan anaknya agar selamat dalam setiap aktivitasnya, Insya Allah permohonan doa ibu juga akan terkabul.
Pengalaman pertama saya merantau dan meninggalkan rumah serta jauh dari keluarga dalam waktu yang cukup lama adalah ketika saya melanjutkan pendidikan ke Universitas Jember, Jember - Jawa Timur.Â
Orang tua, terutama ibu sangat khawatir kalau terjadi apa-apa dengan saya. Untuk ukuran orang tua, ibu termasuk yang sering berkirim surat menanyakan kondisi dan perkuliahan yang saya jalani di Jember. Sampai-sampai kawan-kawan kos pada ngiri, dikiranya saya menerima surat dari pacar, ee..nggak tahunya dari ibunya sendiri.
Kalau ingat-ingat hal itu saya sebagai anak merasa berdosa sekali, belum bisa menyenangkan hati almarhum kedua orang tua saya. Awal-awal saya bekerja di Jakarta dan Kalimantan serta meski sudah berumah tangga dan dikaruniai seorang putri, ibu tetap peduli dan rajin menanyakan keadaan kami.
Setelah bapak meninggal pada tahun 2005, ibu harus berjuang seorang diri. Untung saja kelima anak-anaknya sudah pada mentas (mandiri, red) dan berumah-tangga sendiri-sendiri. Saya bersama istri dan putri semata wayang kami tinggal di Gresik, sementara saudara-saudara kandung lainnya ada yang tinggal di Sidoarjo dan Malang.Â
Beberapa tahun kemudian ibu harus meninggalkan kami untuk selamanya. Akibat kanker kelenjar getah bening yang bersarang di lehernya, ibu harus menyerah dan akhirnya pulang ke Rahmatullah pada tahun 2009. Jauh-jauh hari sebelum meninggal, ibulah yang membagi seluruh harta peninggalan bapak ke semua anak-anaknya.Â
Ibu termasuk sosok yang peduli terhadap hal-hal sekecil apapun dalam urusan berumah tangga, seperti pembagian warisan yang berupa perabot dan alat-alat dapur. Semua warisan bapak sedapat mungkin dibaginya secara adil dan merata. Saya mendapatkan beberapa warisan antara lain berupa lemari pakaian.
Lemari pakaian itu bukanlah sembarang lemari, meski bentuknya sederhana namun lemari kuno itu terbuat dari bahan kayu jati (tua) asli. Semasa masih hidup, ibu pernah bilang kalau lemari pakaian itu dibeli bapak saat mereka baru berumah tangga yakni sekitar tahun 1960an.Â
Pernah suatu ketika terbersit hasrat untuk menjualnya kepada seorang kolektor perabot kuno, padahal kolektor tadi bersedia mengganti dengan harga mahal
Syukur Alhamdulillah, Allah belum mengijinkan sehingga lemari yang kini menjadi tempat menyimpan pakaian anak dan istri itu masih tetap tersimpan dan terawat dengan sangat baik dalam rumah kami.Â
Lemari kuno yang bukan saja menjadi tempat menyimpan pakaian kami, benda berusia puluhan tahun itu juga menjadi saksi perjuangan almarhum kedua orang tua kami saat pertama membangun bahtera rumah tangga.
Lemari kuno hanyalah secuil ungkapan (pemberian) kasih sayang ibu kepada saya, belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan pemberian kasih sayang yang berupa doa, perhatian serta bentuk kasih sayang ibu yang lainnya.Â
Meski hanya sebuah benda kuno namun tempat pakaian yang antik itu menjadi kenangan sepanjang masa, hingga kini masih memberikan manfaat kepada kami sekeluarga. Ya, sebuah lemari pakaian kuno, sebagai pengingat kasih sayang dan budi baik ibu dan bapak kepada kami sekeluarga.
Ampunilah semua dosa dan kesalahan kami kepada ibu-bapak kami Ya Allah, juga dosa-dosa kedua orang tua kami. Pelihara arwah mereka untuk senantiasa tentram dan damai di sisi-Mu sampai hari akhir nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H