Tanaman ketela pohon atau singkong merupakan jenis tanaman ubi-ubian yang dengan mudah kita temukan di lingkungan sekitar kita. Selain ubi (umbi) yang berkembang dalam tanah, tanaman ini juga tumbuh dengan batang tegak dan daun-daun di sepanjang batang tadi. Tak heran bila ada sebagian orang menyebutnya dengan istilah ubi kayu. Masyarakat Jawa biasa menyebutnya dengan nama puhung atau roti sumbu karena di bagian tengah ubi (umbi) nya kita temukan serat yang mirip tali sumbu lilin.
Benarkah singkong identik dengan alam dan gaya hidup pedesaan? Lalu kemudian muncul istilah si anak singkong yaitu sebuah kelakar, ejekan atau olok-olok kepada anak atau remaja yang kampungan (ndeso, katrok dan nggak up date). Sebenarnya tidak selalu demikian sebab di antara gemerlapnya kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan sekitarnya masih ada saja warga atau petani kecil yang memanfaatkan lahan sempit mereka untuk bercocok-tanam tumbuhan yang punya nama ilmiah Manihot utilissima itu.
Kini bahan makanan atau olahan yang berasal dari singkong semakin beragam dan bukan cuma menjadi konsumsi dan dominasi wong ndeso (masyarakat pedesaan, red). Wong kutho (masyarakat perkotaan, red) juga suka makan singkong dan beragam olahannya. Pendeknya, singkong sudah bisa diterima dan begitu populer di semua lapisan masyarakat baik di desa maupun di kota. Kita juga pernah mendengar kampanye pemanfaatan singkong sebagai bahan pangan alternatif selain nasi yang digaungkan oleh seorang pejabat daerah.
Nah, musim hujan yang mulai berlangsung tahun ini disambut gembira oleh sebagian petani singkong di daerah Driyorejo, Gresik - Jatim pasalnya di awal musim hujan inilah saat yang tepat untuk bercocok tanam singkong.
Singkong termasuk salah satu jenis tanaman yang mudah tumbuh meski di lahan yang kurang subur sekalipun atau di lahan yang sistem irigasinya hanya  mengandalkan turunnya air hujan (lahan tadah hujan). Teknik bercocok-tanamnya juga sangat gampang, tidak memerlukan perawatan khusus yang njlimet (rumit, red). Namun untuk bisa menghasilkan ubi (umbi) yang berukuran besar dan berkualitas bagus perlu diperhatikan beberapa hal diantaranya ketersediaan zat hara dalam tanah, jenis varietas yang dikembangkan dan pastinya teknik budidayanya.
"Kami sudah biasa menggunakan varietas asal Trawas, Mojokerto - Jatim karena umbinya berukuran besar, berwarna kuning dan medhuk (empuk, red)" terang Muslim (57 tahun) salah seorang petani singkong Driyorejo -- Gresik saat saya temui kemarin pagi (15/11/2017).
Lahan yang dipilih hendaknya remah (gembur), porous (mudah meloloskan air dan udara / aerasi) dan sedikit berlempung (clay). Biasanya di akhir kemarau atau memasuki musim hujan para petani Desa Driyorejo tak terkecuali pak Muslim mempersiapkan lahannya untuk ditanami singkong. Saat pengolahan itu ke dalam lahannya mereka tambahkan pupuk organik dari kotoran kambing. Mereka biasa menyebutnya srintil wedhus.
Setelah lahan siap ditanami, dibuatlah guludan atau bedengan lengkap dengan saluran irigasi (pengairan) dan drainase (pembuangan kelebihan air). Bibit yang berupa stek batang singkong tadi lalu ditancapkan dengan kedalaman 15 sentimeter. Soal jarak tanam, masing-masing petani kadang tidak sama itu disesuaikan luasnya lahan yang ada. Bisa bervariasi dengan jarak tanam 80 X 80 sentimeter persegi hingga 1 X 1 meter persegi.
4 sampai 5 bulan setelah tanam stek, pasokan air yang cukup sangat diperlukan untuk tumbuh-kembang daun dan umbi singkong, itulah sebabnya mengapa Pak Muslim dan para petani di desanya memilih awal musim hujan ini untuk bercocok-tanam singkong.