Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan, Kreator sampah plastik

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Remo dan Ludruk, Riwayatmu Kini

31 Oktober 2017   23:02 Diperbarui: 2 November 2017   02:57 4251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat sekarang terutama kaum mudanya merasa nggak keren, nggak update kalau tidak mengikuti tren asing (dunia barat) yang sedang gencar-gencarnya melanda tanah air. Tren itu berupa banyak hal, salah satunya adalah budaya (seni tari/nyanyi) asing. Sebagian kaum muda kalau nggak nge-break dance, nge-hip hop, nge-gangnam style merasa bukan anak muda zaman now.

Merebaknya kesenian asing tadi tak pelak sedikit atau banyak akan berpengaruh pada perkembangan (kelestarian) kesenian asli (daerah) Indonesia tercinta ini. 

Kalau anak mudanya saja pada menggandrungi kesenian asing lalu bagaimana dengan nasib kesenian daerahnya. Pasti kesenian (tari) daerah akan kurang mendapatkan perhatian dan lambat-laun bukan tidak mungkin akan lenyap dari Bumi Indonesia karena tidak mendapat tempat di hati masyarakatnya. Sebagai warga negara, melihat hal itu tentu saja saya atau kita semua akan merasa prihatin.

Kader remo (dok.pri)
Kader remo (dok.pri)
Pernah suatu ketika saat bermain-main ke kota buaya Surabaya, saya berkesempatan menyaksikan sekelompok remaja putri memainkan (berlatih) kesenian Tari Remo di pendopo Kampoeng Ilmu. Meski tak pandai memainkan tarian remo alias ngremo namun saya termasuk salah satu orang yang mengagumi kesenian daerah itu. 

Melihat para remaja ngremo, hati saya menjadi senang sekaligus bangga. Pikir saya, ternyata masih ada sebagian anak muda yang menyukai kesenian tari tradisional yang khabarnya asli Jombang itu di tengah-tengah merebaknya tarian asing.

Para remaja putri itu tampaknya bukan hanya pintar memainkan tarian yang menceritakan seorang pangeran yang dengan gagah berani berjuang di medan perang namun juga merasa bangga dan percaya diri membawakan tarian remo yang merupakan kesenian tari khas daerah Jawa Timur itu.

Awalnya tarian remo tak bisa dipisahkan dari pergelaran kesenian drama ludruk. Pementasan ludruk tanpa remo sepertinya kurang afdol pada masa itu. Seiring perkembangan zaman, pergelaran ludruk tanpa didahului pementasan remo juga nggak masalah. Kini pementasan tarian remo dilakukan saat ada acara-acara penting seperti festival tari tradisional, acara 17 Agustusan, menyambut kedatangan pejabat daerah, negara atau bahkan tamu mancanegara. Dulu, tarian remo hanya dimainkan oleh kaum pria namun sekarangpun kaum wanita bisa memainkannya.

Setiap tarian daerah pasti memiliki ciri khas yang memungkinkan tarian tadi mudah dikenali oleh masyarakat Indonesia maupun mancanegara. Begitu pula dengan tari remo. Busana, rias wajah, gerakan dan perlengkapan busana yang dikenakan oleh seorang penari remo sangatlah khas.

Penari remo menari dengan memain-mainkan sampur (selendang, red), sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah menengok ke kanan dan ke kiri, diikuti dengan hentakan kaki ke lantai. Tarian remo terlihat lebih atraktif dan rancak dengan diiringi oleh gendang dan seperangkat gamelan. Pada pergelangan kaki (kanan) penarinya dipasang gongseng (kelintingan, red) sehingga menimbulkan bunyi cring..cring..cring.. saat kaki dihentakkan ke lantai.

Tarian remo mengingatkan saya pada seni pentas drama ludruk. Mengingat acara TVRI Jatim belum beragam seperti sekarang ini dan belum ada kompetitor TV swasta sehingga acara ludruk sering muncul di sana.

Selain TVRI Jatim, dulu ludruk juga sering disiarkan oleh RRI Surabaya. Masa kecil saya dan keluarga juga tak lepas dari hiburan ludruk yang disiarkan oleh RRI Surabaya. Siang hari biasanya menjadi saat yang tepat untuk tune indi RRI Surabaya (mungkin masih AM kali ya) guna mendengarkan lakon-lakon ludruk. Meski baterai radio semakin tekor hingga berbunyi krek.. kreek.. kreekkk.. namun, acara dengar ludruk bersama saudara atau tetangga harus tetap berjalan.

Lain lagi dengan nonton ludruk di TV, yang tak kalah menariknya adalah setelah pementasan tari remo sebelum lakon utama dimulai, saya dan penonton lain terlebih dulu disuguhi kidung jenaka jula-juli Suroboyo yang berisi banyolan (lawakan, red) dan pastinya bikin gelak-tawa penonton ludruk. Kala itu tokoh dan kelompok kesenian ludruk masih jarang, tidak sebanyak seperti saat ini. Atau malahan semakin berkurang karena tergerus kesenian asing. 

Sejumlah nama besar dalam dunia perludrukan seperti Cak Kancil Cs, Cak Sidik Cs dan Cak Kartolo Cs wara-wiri mengisi acara TVRI dan RRI Surabaya di kala itu. Mungkin sekarang sudah jarang kita saksikan pergelaran ludruk dengan tokoh-tokoh tadi. Cak Kartolo yang sesekali terlihat masih eksis, kadang muncul di Kompas TV Jatim.

Di masa penjajahan Jepang, kesenian ludruk bisa menjadi alat perjuangan yang ampuh. Syair kidungan ludruk alm. Gondo Durasim, pujangga ludruk kala itu, yang berbunyi "begupon omahe doro meloknippontambah sengsoro (pagupon kandangnya merpati, ikut Jepang bertambah sengsara, red)" menuai amarah tentara Jepang hingga akhirnya Cak Durasim disiksa dan dipenjarakan oleh tentara Jepang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun