Lain lagi dengan nonton ludruk di TV, yang tak kalah menariknya adalah setelah pementasan tari remo sebelum lakon utama dimulai, saya dan penonton lain terlebih dulu disuguhi kidung jenaka jula-juli Suroboyo yang berisi banyolan (lawakan, red) dan pastinya bikin gelak-tawa penonton ludruk. Kala itu tokoh dan kelompok kesenian ludruk masih jarang, tidak sebanyak seperti saat ini. Atau malahan semakin berkurang karena tergerus kesenian asing.Â
Sejumlah nama besar dalam dunia perludrukan seperti Cak Kancil Cs, Cak Sidik Cs dan Cak Kartolo Cs wara-wiri mengisi acara TVRI dan RRI Surabaya di kala itu. Mungkin sekarang sudah jarang kita saksikan pergelaran ludruk dengan tokoh-tokoh tadi. Cak Kartolo yang sesekali terlihat masih eksis, kadang muncul di Kompas TV Jatim.
Di masa penjajahan Jepang, kesenian ludruk bisa menjadi alat perjuangan yang ampuh. Syair kidungan ludruk alm. Gondo Durasim, pujangga ludruk kala itu, yang berbunyi "begupon omahe doro meloknippontambah sengsoro (pagupon kandangnya merpati, ikut Jepang bertambah sengsara, red)" menuai amarah tentara Jepang hingga akhirnya Cak Durasim disiksa dan dipenjarakan oleh tentara Jepang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H