Dewasa ini makin marak pengembangan pendidikan secara online (berbasis internet). Kuliah atau kursus bisa dilaksanakan tanpa harus bertatap muka dengan dosen (pengajar) mata kuliah atau trainer bidang keahlian tertentu yang biasa berlangsung di dalam ruang kelas. Meski kuliah atau kursus online sedang gencar disosialisasikan namun pendidikan secara konvensional hingga saat ini masih dianggap relevan dalam dunia pendidikan kita.
Proses belajar-mengajar yang sedianya dilakukan di dalam ruang kelas di mana ada murid (mahasiswa) dan guru (dosen), keduanya saling berinteraksi, berkomunikasi dua arah. Guru menyampaikan materi pelajaran sedangkan sang murid menyimak dan menyerap ilmu yang diajarkan.
Guru (tenaga pengajar/dosen) sampai saat ini masih menjadi sosok yang begitu berperan dalam dunia pendidikan kita. Ada yang mengatakan dalam slogan Jawa, guru adalah sosok yang digugu (bisa dipercaya perkataannya) lan ditiru (dan ditiru tingkah lakunya). Sebagai panutan, guru sangat menentukan seperti apa jadinya murid yang dibimbingnya dikelak hari nanti atau istilah Jawanya, abang ijone murid kuwi soko gurune.
Kalau pada tingkatan mahasiswa sudah sedikit berbeda. Namanya juga mahasiswa, cara berpikirnya harusnya sudah lebih matang dan dewasa bila dibandingkan dengan siswa-siswa SMA atau tingkatan pendidikan di bawahnya. Dosen atau staf pengajar kadang tidak perlu terlalu detil menyampaikan materi perkuliahan karena mahasiswa sudah bisa menggalinya sendiri lewat perpustakaan, internet atau sarana pendidikan lainnya.
Kelompok usia mahasiswa punya daya kreasi, inisiatif yang cukup tinggi bahkan sudah bisa mengenali (tahu) potensi yang ada pada dirinya. Sedangkan kelompok usia TK, SD, SMP dan SMA masih sangat tergantung pada figur dan kapabilitas guru-gurunya. Â Â
Mencari Pendidik Ideal
Dunia pendidikan kita masih diwarnai hal-hal yang kurang enak didengar telinga. Di antara kita mungkin pernah mendengar di sekolahan tertentu tersiar kabar ada salah satu gurunya yang dilaporkan orang tua murid ke pihak kepolisian gegara sang guru tadi kurang sabar menghadapi sang murid hingga harus menempeleng kepala siswanya.
Pernah juga terdengar kabar ada seorang tenaga pengajar yang tertangkap basah sedang bergendak ria dengan mahasiswanya, karena ulahnya yang mencoreng nama almamater itu akhirnya sang pengajar tadi harus rela dipecat dari perguruan tinggi dimana ia biasa menggantungkan hidupnya.
Beberapa waktu lalu kita dengar pemberitaan bahwa ada seorang mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Menado tega menghabisi nyawa dosennya karena sang dosen tadi kedapatan mengonsumsi narkoba.
Dalam dunia pendidikan kita tenaga pengajar (dosen) atau guru masih dipandang sebagai figur panutan. Tingkah lakunya menjadi sorotan para mahasiswa atau muridnya. Sekali berbuat kesalahan maka sang guru dicela habis-habisan bahkan boleh jadi diberhentikan dari pekerjaannya.
Proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik sebenarnya bukan hanya ditentukan oleh figur dan kapabilitas (keahlian mengajar) guru atau tenaga pengajar itu. Sang murid juga harus mawas diri serta ikut bertanggung jawab dalam proses itu, ia juga harus menjaga perilakunya dan bersungguh-sungguh mengikuti pelajaran dengan baik.
Sarana penunjang yang berupa perpustakaan dan laboratorium canggih di sekolah/kampus memang sangat diperlukan agar para lulusannya berkualitas. Entah mengapa setiap ada masalah dengan sistem pendidikan kita, guru atau tenaga pengajar selalu menjadi pihak yang sering mendapat sorotan.
Tak bisa dipungkiri kalau profesi guru masa kini lebih berperan sebagai tenaga pengajar daripada tenaga pendidik. Guru atau tenaga pengajar dewasa ini dari segi keahlian menyampaikan materi pelajaran boleh dibilang sudah mumpuni, tidak disangsikan lagi kemampuannya. Mereka menempuh jenjang pendidikan sampai ke universitas-universitas terkemuka di luar negeri. Namun sebagai pendidik (maaf) masih perlu dipertanyakan kemampuannya.
Mendidik dan mengajar jelas tidak sama. Mengajar lebih kepada penyampaian materi pelajaran semata namun bila mendidik selain mengajar juga melibatkan sikap moral. Pada proses mengajar, sang guru lebih dituntut untuk menyelesaikan materi pelajaran sesuai target. Pada proses mendidik, guru tak hanya menyampaikan materi pelajaran sesuai target yang ditetapkan namun juga ada unsur keteladanan dan ketelatenan dari sang guru tadi.
Guru-guru jaman dulu umumnya lebih telaten dan sabar dalam memberikan bimbingan (penyuluhan) kepada murid-muridnya. Murid yang paling sulit mengikuti pelajaran di kelas karena memang kemampuan berpikirnya rendah (bodoh) atau karena nakal tidak malah dicemooh atau dimarahi, justru sang gurulah yang harus membimbingnya hingga murid tadi bisa mengikuti pelajaran seperti siswa lainnya. Makanya ada yang berpendapat kalau tolak ukur keberhasilan guru tergantung seberapa besar kemampuannya mendidik murid-murid yang sulit mengikuti pelajaran bukan pada murid-murid yang memang sudah pintar.
Seiring dengan perkembangan jaman dan semakin majunya ilmu dan teknologi di muka bumi ini, konsep pendidikan yang ada di negara kita pasti juga mengalami perkembangan (dinamika). Gaya pendidikan yang dulu dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara yang terkenal dengan spirit Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi teladan), Ing madyo mangun karso (di tengah membangkitkan kehendak), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan) mungkin saja memudar belakangan ini.
Siswa didikan guru di masa Ki Hadjar Dewantara dengan didikan guru-guru sekarang jelas tidak sama. Itu terlihat saat mereka sudah terjun ke tengah-tengah masyarakat. Mungkin murid-murid sekarang lebih tangguh dalam soal iptek (ilmu dan teknologi) karena tertular guru-gurunya yang juga piawai dalam soal iptek itu. Guru-guru dengan spirit Ki Hadjar Dewantara akan melahirkan murid-murid yang kurang lebih juga mewarisi spirit bapak pendidikan Indonesia itu.
Konsep pendidikan yang dikembangkan di negara kita salah satunya ditentukan oleh keberadaan para pendidik yang masih memegang teguh ajaran Ki Hadjar Dewantara itu. Mencari para pendidik yang ideal memang gampang-gampang susah bahkan mungkin nyaris tak ada. Menetapkan seorang pendidik (guru/tenaga pengajar/dosen) sebagai pendidik yang ideal tentu harus memenuhi segudang kriteria dan itu sangat sulit dicapai oleh seorang guru biasa.
Coba saja kita tetapkan kriteria-kriteria untuk bisa menjadi pendidik yang ideal, jika laki-laki harus berwajah ganteng dan kalau perempuan berwajah cantik (good looking). Ahli dibidangnya (kapabel), berkelakuan dan bermoral baik, taat beribadah, jenius, tidak merokok, memiliki cara mengajar yang baik dan masih banyak kriteria lainnya.
Pendidik ideal itu dambaan setiap murid. Namun mencari yang ideal jelas sulit apalagi di era modern seperti sekarang ini dimana banyak manusia mengalami degradasi moral. Setidaknya para pendidik kita masih bersemangat mengembangkan ajaran Ki Hadjar Dewantara, itu sudah lumayan bagus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H