Memandu Kami Menjelajah Gua Kembar
Tak lama setelah kami memarkir kendaraan, Suyanto melangkahkan kaki menuju pohon besar. Kali ini kami tak banyak bercengkerama mengingat hari sudah beranjak sore. Ia berdiri mematung, mulutnya komat-kamit mungkin sedang berdoa atau membaca mantra agar kami selamat saat memasuki gua nanti.
Sejenak kemudian ia menghilang di balik rimbunnya semak-belukar yang menutupi mulut Gua Kembar. Ia berjalan duluan sementara kami mengikuti dari belakang, dari kejauhan yang terlihat hanya sebagian rambut kepalanya.
Berkat jasa baik Cak Yanto, panggilan akrab Suyanto (36 tahun) sayapun akhirnya mengetahui di mana letak Gua Kembar itu. Apakah ada kaitan antara Gua Melirang dan Gua Kembar, Cak Yanto sendiri juga belum mengetahui tentang hal itu. Yang jelas letak kedua gua saling berdekatan. Untuk bisa sampai ke Gua Kembar pengunjung sebaiknya memilih jalan bercabang yang sebelah kanan.
Saya juga baru tahu kalau tidak jauh dari Gua Melirang atau sebagian masyarakat desa menyebutnya Gua Agung (Gelang Agung) itu terdapat satu gua lagi, sebab keterangan di situs internet yang saya baca, di Desa Melirang cuma terdapat satu gua saja.
Menurut penerawangan Cak Yanto, Gua Kembar tidak seangker Gua Melirang, gua yang pertama kali kami datangi saat menjelajah Desa Melirang, Bungah – Gresik, Jawa Timur. Energi gaibnya juga terasa lebih ringan, itu terlihat dari suasana dan udara yang kita hirup saat berada dalam gua. Terasa ringan dan segar tidak seperti saat berada dalam Gua Melirang yang dingin, pengab dan menyesakkan nafas.
Secara ilmiah, keterangan yang disampaikan Cak Yanto mungkin kurang masuk akal sebab terasa ringan atau beratnya kita bernafas saat berada dalam gua semata-mata didasarkan pada ketersediaan oksigen dalam gua dan kondisi sistem alat pernafasan pada tubuh kita.
Gua Melirang dan Kembar memiliki ciri-ciri yang hampir sama. Keduanya merupakan gua dari bebatuan kapur. Kedua gua itu menjadi sarang ratusan ribu kelelawar. Sebagai orang yang getol melakukan ritual dalam gua, Cak Yanto sangat meyakini kalau dalam Gua Kembar terdapat mahluk gaib berupa dua (2) ekor ular raksasa. Kedua ekor ular raksasa gaib itu memang berjenis kelamin jantan dan betina tapi bukan merupakan pasangan.
Lagi-lagi sebelum memasuki mulut gua, ia mencoba menerawang kembali dengan mata batinnya. Sementara saya dan Saifuddin (Udin) hanya terbengong-bengong penuh penasaran dan sedikit rasa takut.
“Cobaen cekelen wit iki ambek merem mas (coba pegang pohon ini sambil memejamkan mata, red)” ajak Cak Yanto membimbing saya dan Udin memasuki penerawangan gaibnya.
Saya yang ketakutan jelas tak bersedia melakukannya. Kata Cak Yanto, ia dengan mata batinnya berhasil melihat sesosok mahluk gaib berupa ular raksasa melesat di jalan menuju Gua Kembar.
“Gak po po mas, ojo wedi, gaibe kepingin kenalan ambek awak dhewe (gak pa pa mas, jangan takut, gaibnya ingin berkenalan dengan kita, red) kata Cak Yanto dengan meyakinkan.
Stalagtid dan stalagmit kedua gua sekilas tampak sama. Namun sebelum menuju ruangan-ruangan dalam Gua Kembar, pengunjung disambut oleh sebongkah batu berukuran cukup besar dengan bagian atas berlubang (menyerupai yoni) yang sangat diyakini Cak Yanto ditunggu oleh mahluk gaib berupa ular raksasa betina. Sedangkan stalagtid yang berada tak jauh dari bongkahan batu besar itu menjadi tempat bersemayam ular raksasa gaib berjenis kelamin jantan.
Memasuki gua yang konon diyakini menjadi tempat bersemayamnya mahluk gaib haruslah berhati-hati. Tidak boleh berkata-kata kotor atau mengumpat apa yang menjadi kekurangan saat berada dalam gua. Lantai (dasar) Gua Kembar terasa begitu licin akibat tetesan air dan kotoran kelelawar (guano). Bau menyengat guano sudah pasti tak terhindarkan lagi karena ruangan-ruangan dalam Gua Kembar juga menjadi sarang bagi ratusan ribu kelelawar.
Seperti halnya Gua Melirang, Gua Kembar sebenarnya juga berpotensi untuk dijadikan objek wisata. Entah mengapa pemerintah daerah setempat malah menutup lokasi gua dengan pagar seng. Apakah keadaan gua yang membahayakan bagi para pengunjung? Atau sengaja ditutup agar gua itu tidak dijadikan tempat melakukan ritual sesat. Yang jelas potensi kotoran kelelawar (guano) sebagai pupuk organik bagi tanaman cukup besar mengingat ratusan ribu kelelawar berdiam dalam gua itu.