Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak-anak Meriahkan Sistem Fogging

22 Maret 2016   20:39 Diperbarui: 14 Agustus 2016   10:02 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Anak-anak bergerombol siap ikutan fogging (dok.pri)"][/caption]

Musim hujan dan merebaknya wabah penyakit Demam Berdarah seolah sudah menjadi tradisi tahunan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita. Genangan-genangan (kubangan) yang terjadi akibat air hujan boleh jadi menjadi tempat yang sesuai bagi tumbuh-kembang Si Belang, nyamuk yang selama ini menjadi biang berkembangnya penyakit Demam Berdarah itu. Rumah kosong atau bekas pabrik tidak hanya menjadi sarang tikus tapi boleh jadi juga sebagai sarang nyamuk demam berdarah. Pada kasus wabah Demam Berdarah Dengue (DBD) jumlah pasien terbesar biasanya berasal dari kalangan anak-anak, hal ini karena kelompok usia itu umumnya tidak memiliki imunitas (kekebalan) yang cukup kuat untuk menahan serangan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti. Kebiasaan yang berkembang di masyarakat kita, begitu terdengar kabar ada salah satu warga yang terserang DBD maka tak lama setelah itu dilakukan upaya pemberantasan nyamuk penyebab DBD dengan penyemprotan (pengasapan) yang biasa disebut fogging.

Fogging sementara ini masih dipandang sebagai cara yang paling populer dan efektif. Masyarakat awam mungkin tak banyak yang tahu bahan apa yang dimasukkan ke dalam mesin fogging sehingga menghasilkan asap (kabut) dengan bau yang khas itu. Mereka hanya tahu bahwa fogging merupakan tonikum yang ampuh untuk mengatasi meluasnya serangan wabah DBD. Dengan menerapkan upaya pemberantasan secara fogging itu, nyamuk-nyamuk Aedes diharapkan akan mati semua. Ada pendapat yang mengatakan bahwa hanya nyamuk-nyamuk dewasa saja yang mati karena insektisida yang dimasukkan ke dalam alat fogging sementara jentik-jentik nyamuk yang biasanya hidup nyaman di kubangan air (jernih) tidak ikut mati dalam upaya pengasapan itu.

Boleh dikatakan fogging hanya efektif untuk sementara waktu karena ada kemungkinan jentik-jentik nyamuk Aedes yang tak tersentuh oleh asap racun serangga itu akan tumbuh dan berkembang menjadi nyamuk dewasa yang siap menyerang manusia. Akan tetapi tidak semua nyamuk Aedes dewasa akan mati selama proses pengasapan, nyamuk-nyamuk yang kebal dan bisa lolos dari upaya fogging itu akan semakin membahayakan bagi manusia di sekitarnya. Setelah dilakukan fogging biasanya bau insektisida itu masih kita rasakan untuk beberapa lama. Asap racun nyamuk yang menempel pada kain kelambu rumah, sprei kasur (bed cover), pakaian yang tergantung, buku-buku, alat-alat dapur dan lantai rumah kita sebenarnya tak bisa dianggap remeh. Efek residu bahan aktif yang berupa malation, sumithion, fenithrotion pada racun nyamuk Aedes dalam waktu yang lama diperkirakan akan menyebabkan berbagai penyakit pada tubuh manusia, beberapa diantaranya ialah : gangguan pada saluran pencernaan, menurunnya sistem kekebalan tubuh dan kerusakan pada paru-paru.

Anak-anak merupakan kelompok usia yang sangat rawan terhadap serangan penyakit DBD, meski demikian mereka sebenarnya turut andil meramaikan upaya pemberantasan nyamuk penyebab penyakit yang sangat berbahaya sekaligus mematikan bila terlambat penanganannya itu. Coba kita perhatikan, meski asap fogging itu sangat menyengat baunya bahkan sampai menyesakkan pernafasan bagi sebagian orang namun yang namanya anak-anak tetap saja nekad mengikuti petugas fogging melakukan penyemprotan dari rumah ke rumah. Apa karena suara mesin fogging yang menggelitik perhatian anak-anak atau mungkin sebagian anak-anak tadi merasa geram dan prihatin dengan DBD yang menyerang salah seorang teman seusianya sehingga mereka merasa perlu membalaskan sakit hati temannya yang sempat dirawat di rumah sakit gegara mengidap DBD itu.

Upaya pemberantasan nyamuk penyebab DBD dengan sistem fogging ternyata menuai kritik dari sebagian masyarakat kita, selain karena berbagai efek residu yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia fogging, juga kurang ramah lingkungan, pasalnya bahan aktif racun nyamuk itu tidak bisa diuraikan kembali oleh alam (non bio degradable). Meski demikian, sistem fogging hingga saat ini masih dianggap relevan dan tetap saja diterapkan. Setelah timbul korban biasanya masyarakat menjadi lebih sadar bahwa tindakan pencegahan itu lebih utama ketimbang mengobati. Cara yang umum dilakukan ialah dengan menerapkan program 4M. Langkah pertama dengan menguras bak mandi atau bejana-bejana lain berisi air yang memungkinkan jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti tumbuh di sana.

Kedua dengan menutup bak-bak penampungan atau tandon air agar nyamuk beserta jentik-jentiknya tidak berkembang di sana. Langkah selanjutnya dengan mengubur barang-barang bekas berupa kaleng atau perabotan tak terpakai yang memungkinkan air hujan bisa tertampung dalam wadah bekas itu. Serta secara dini dan jeli memantau meluasnya serangan wabah penyakit DBD agar segera bisa ditangani. Untuk menekan perkembangan jentik-jentik nyamuk bisa juga digunakan pasir abate yang dibungkus dengan kain kemudian dimasukkan ke dalam bak atau tandon air.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun