[caption caption="Mesin pencacah bahan organik di rumah kompos Jambangan Surabaya"][/caption]
Peledakan jumlah penduduk di beberapa kota besar Indonesia tak pelak menimbulkan berbagai masalah serius lainnya. Masalah sampah salah satunya. Masih segar di ingatan kita perseteruan yang terjadi antara Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota (Pemda DKI) Jakarta dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi beberapa waktu yang lalu itu juga gegara ditutupnya (sementara) Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah Bantar Gebang Bekasi.
Bisa Anda bayangkan entah berapa ton sampah menumpuk di ibu kota yang padat penduduknya itu dalam seharinya. Di beberapa sudut Jakarta yang memang secara khusus dijadikan TPA oleh Pemda DKI terlihat tumpukan sampah menggunung di sana. Bau tak sedap menjalar ke mana-mana. Belum lagi berbagai akibat buruk lainnya seperti timbulnya penyakit yang ditularkan oleh beberapa hewan seperti lalat dan tikus yang suka hidup di tempat sampah tentu saja hal itu sangat mengganggu warga DKI yang tinggal di dekat TPA.
Mungkin bagi Pemda DKI sendiri yang sudah maju dan berpengalaman dalam mengelola daerahnya dan juga pihak pengelola sampah di TPA Bantar Gebang Bekasi punya solusi (jalan keluar) khusus dalam mengatasi masalah sampah diantaranya dengan menerapkan inovasi (cara/penemuan) baru yang berupa penggunaan mesin pemusnah sampah (incinerator) atau teknologi pengelolaan sampah lainnya.
Surabaya sebagai kota besar kedua setelah Jakarta juga tak luput dari masalah sampah itu. Perlu diketahui bahwa sampah yang dimaksud bukan hanya berasal dari sampah dapur rumah tangga, sampah pasar tapi juga sampah yang berupa daun dan ranting kecil pepohonan yang tersebar di berbagai ruas jalan atau taman-taman penting Kota Surabaya yang ditebang karena rusak (tumbang) atau upaya peremajaan.
Seperti kita ketahu bersama, sampah dibedakan menjadi dua yakni sampah dari bahan organik dan anorganik. Sampah organik meliputi sisa-sisa dapur rumah tangga yang berupa sisa potongan sayur, ikan, buah atau makanan (nasi) yang sudah rusak atau dalam skala yang lebih besar termasuk diantaranya sampah organik dari pasar atau sampah daun dan batang pepohonan taman kota.
Sampah anorganik bisa berupa plastik, logam, beling (kaca) juga kertas. Biasanya setelah sampah sampai di TPA atau ketika berada di depo-depo sampah kecil, para pemulung sudah berdatangan untuk mengais rezeki dengan memilah-milah sampah itu. Mereka mencari logam, plastik, botol beling atau kertas kardus untuk dijual ke pengepul. Selanjutnya pengepul menyetorkan sampah-sampah anorganik tadi ke pabrik untuk didaur ulang.
Belakangan ini masyarakat luas mulai gencar mengelola sampah rumah tangganya khususnya sampah anorganik karena bernilai ekonomi. Sebagian masyarakat Surabaya terutama kaum ibu-ibunya sudah semakin kreatif dalam menangani sampah anorganik itu. Mereka mendirikan bank-bank sampah untuk menampung sampah-sampah anorganik yang dikumpulkan warga. Selanjutnya pihak pengelola bank sampah menggantinya dengan sejumlah uang sesuai jumlah sampah yang disetorkan ke bank sampah itu.
Pengelolaan Sampah Ala Kampung Jambangan Surabaya
Bila berbicara mengenai pengelolaan sampah rumah tangga yang berhasil guna maka Kampung Wisata Jambangan Surabaya itu memang patut dijadikan salah satu contohnya. Untuk melihat lebih dekat tentang bagaimana cara mengelola sampah rumah tangga, saya bulatkan niat untuk mengunjungi Jambangan, sebuah kampung wisata lingkungan yang bersih nan sehat yang telah meraih banyak penghargaan baik di tingkat regional maupun nasional.
[caption caption="Salah satu gang di Jambangan Surabaya"]
Minggu pagi (13/12/2015) kemarin saya diterima dengan sangat baik oleh Ibu Lusiani Sutrisno. Beliau adalah salah seorang warga Kelurahan Jambangan Surabaya yang telah berperan aktif menggerakkan kaum ibu di sana untuk beramai-ramai mengembangkan kerajinan dari bahan sampah plastik (daur ulang). Bu Tris demikian sapaan akrab beliau sudah sejak tahun 2006 berkiprah dalam kerajinan daur ulang itu.
[caption caption="Bu Lusiani "]
Wanita berputera dua kelahiran 43 tahun silam itu bekerja tidak sendirian melainkan dibantu 4 orang warga yang bekerja secara aktif hingga dihasilkan berbagai kerajinan kreatif yang menawan hati. Berbagai contoh kerajinan dari bahan daur ulang sampah plastik telah berhasil beliau ciptakan diantaranya : lampion, tempat sampah, selempang, vas bunga, toples, apel gantung, tikar, baju, bunga dan masih banyak lagi.
“Semua hasil kerajinan kami dibandrol dengan harga yang sangat terjangkau mulai 15 ribu hingga ratusan ribu rupiah tergantung tingkat kesulitannya” terang Bu Tris dengan rendah hati.
Bu Tris mengaku ilmu merangkai kerajinan dari bahan daur ulang sampah plastik itu ia pelajari sendiri, tanpa melalui sekolah khusus atau kursus. Di ruang tamu beliau yang megah itu terlihat berbagai contoh kerajinan hasil kreasinya. Dinding rumahnya juga penuh dengan hiasan-hiasan cantik dari bahan daur ulang.
[caption caption="Contoh kerajinan daur ulang kreasi Bu Lusiani (Bu Tris)"]
[caption caption="Kerajinan tikar dari bahan daur ulang"]
[caption caption="Kerajinan daur ulang kreasi Bu Tris lainnya"]
“Semua model dan disain kerajinan saya kembangkan secara otodidak” lanjutnya sambil menemani putra sulungnya yang sedang sakit.
Karena prestasi dan kreativitasnya, Bu Tris sering diundang oleh berbagai kalangan seperti perbankan, sekolah juga dunia kampus untuk tampil memberikan pelatihan atau kursus singkat seputar bagaimana cara mengelola bahan daur ulang menjadi beraneka macam kerajinan bernilai ekonomi.
Berkat jasanya pula nama Kelurahan Jambangan Surabaya menjadi harum dan dikenal oleh masyarakat luas. Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya menaruh perhatian penuh dan pembinaan atas prestasi yang dicapai Bu Tris selama ini. Selain membina warga di kampungnya, Bu Tris juga mengembangkan keterampilan membuat kerajinan daur ulang itu menjadi sebuah usaha dengan nama “Tris Flower”.
[caption caption="Sertifikat penghargaan dari Walikota Surabaya"]
[caption caption="Piagam penghargaan dari mantan Meneg BUMN, Bapak Dahlan Iskan"]
[caption caption="Penghargaan dari ITS"]
[caption caption="Sertifikat dari Kementerian Pariwisata RI"]
Beliau dan kampungnya berhasil meraih banyak penghargaan. Beberapa diantaranya dari Walikota Surabaya Bu Tri Rismaharini, Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya, Kementerian Pariwisata, juga penghargaan dari Pak Dahlan Iskan yang waktu itu menjabat sebagai menteri BUMN.
Bu Tris merupakan salah satu warga Jambangan Surabaya yang telah berhasil mengembangkan seni kerajinan dari bahan daur ulang sampah plastik. Beliau menjadi inspirasi bagi warga masyarakat lainnya bahwa sampah (kering) bisa dimanfaatkan untuk kehidupan yang lebih baik. Lalu bagaimana upaya mengumpulkan sampah-sampah anorganik itu dari para warga. Untuk itu saya menghubungi Pak Sutikno (65 tahun) yang bertugas di salah satu bank sampah RW 01 Kelurahan Jambangan Surabaya.
[caption caption="Salah satu bank sampah di Jambangan Surabaya"]
“Ada beberapa RW (Rukun Warga) di Kelurahan Jambangan Surabaya yang dijadikan percontohan, tapi RW 01 dan 03 termasuk yang paling maju” terang Sutikno saat menerima saya di bank sampahnya yang berada di lingkungan RW 01.
Bank sampah yang dikelola Pak Tik, demikian panggilan akrab Sutikno baru berdiri beberapa tahun yang lalu. Tapi animo masyarakat setempat yang menyetorkan sampah keringnya (sampah anorganik) cukup besar. Dalam seminggu bank sampahnya bisa menerima setoran 3 sampai 4 kali.
“Soal harga sampah kering perkilogramnya masing-masing RW hampir sama, naik-turun disesuaikan harga di pasaran” ujar Pak Tik sambil sibuk melayani warga yang sedang menyetorkan sampah kering Minggu siang itu.
[caption caption="Pak Sutikno di antara sampah kering dalam bank sampahnya"]
Untuk 1 kilogram kardus, bank sampah yang dikelola Pak Tik itu menghargai 1300 rupiah. Botol akua dihargai 2500 rupiah perkilonya. Kaleng (besi) cukup murah harganya yakni 400 rupiah sekilonya. Koran lumayan mahal, 1500 rupiah perkilonya. Ember atau bak plastik yang pecah dihargai 1250 rupiah untuk setiap kilogramnya.
Bank sampah yang dikelola Pak Tik juga menerima setoran sampah kering berupa kardus bekas nasi kotak atau kue dengan harga 400 rupiah setiap kilonya. Bekas kemasan air mineral berbentuk cup (gelas) dihargai 3500 rupiah perkilonya. Sedangkan botol plastik berwarna harganya 1000 rupiah perkilonya, sementara yang botol bening harganya bisa mencapai 2500 rupiah sekilonya.
“Kadang ya seminggu sekali, kalau ramai bisa 3 hari sekali pengepul mendatangi bank sampah kami” tukas Pak Tik.
Warga Kelurahan Jambangan tak cuma bijak mengelola sampah kering hingga mereka mampu menyulapnya dengan sejumlah rupiah. Sisa dapur rumah tangga mereka juga tak dibuang begitu saja. Mereka mengolahnya kembali hingga menjadi kompos untuk pupuk tanaman hias atau bahkan sayuran yang mereka tanam di halaman rumah.
[caption caption="Drum komposter "]
[caption caption="Drum komposter diisi sampah dapur atau daun kering"]
[caption caption="Instalasi pipa paralon berlubang dalam komposter untuk aerasi"]
Sisa dapur rumah tangga yang berupa potongan sayur, buah atau nasi basi, daun-daun kering pepohonan di rumah dirajang kembali kecil-kecil dengan ukuran lebih kurang 2 sentimeter kemudian dimasukkan dalam drum plastik komposter. Drum komposter dari bahan plastik dirancang sedemikian rupa dengan beberapa lubang pengudaraan (aerasi) yang dibuat dari paralon.
Komposter yang dijual di pasaran harganya lebih mahal. Akhirnya warga Jambangan berinisiatif membuatnya sendiri dengan mentransfer ilmu dari internet. Komposter lengkap dengan paralon saluran udara memungkinkan mikroba (jasad renik) atau dekomposer (bakteri pengurai) lainnya bekerja secara aerob.
[caption caption="Pak Jono, ketua RT 03/RW 01 Kelurahan Jambangan Surabaya"]
[caption caption="Lombok yang ditanam dengan menggunakan media kompos rumah tangga"]
Untuk menggali informasi lebih jauh tentang pengelolaan sampah (sisa) rumah tangga yang terkategori sampah basah (organik), Minggu siang itu saya menemui Pak Jono selaku ketua RT 03/RW 01 Jambangan Surabaya.
“Setiap 7 rumah dipasang 1 komposter” terang Pak Jono.
Bahan-bahan sisa dapur yang dikomposkan dalam komposter, dibolak-balik setiap beberapa hari sekali. Satu atau dua bulan kompos sudah bisa dipanen. Menurut penuturan Pak Jono, untuk mempercepat proses pengomposan kadang-kadang sebagian warganya menambahkan starter (bibit) kompos atau larutan EM4 (Effective Microorganism) ke dalam bahan kompos itu.
Selanjutnya bahan kompos yang sudah matang, berwarna coklat kehitaman itu bisa dimanfaatkan untuk pupuk tanaman hias atau beberapa jenis sayuran yang mudah ditumbuh-kembangkan dalam pot plastik atau polibag. Hasil sayuran seperti lombok atau tomat bisa digunakan sebagai tambahan kebutuhan dapur.
Pembuatan Kompos Ala Pemerintah Kota Surabaya
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memiliki banyak depo sampah dan beberapa rumah kompos. Dua rumah kompos diantaranya berada di dalam lingkungan Kelurahan Jambangan Surabaya. Menjelang siang saya sempatkan diri untuk mendatangi kedua rumah kompos itu. Sayang sekali siang itu saya tidak berjumpa dengan Pak Warsito, selaku pimpinan rumah kompos tapi saya bisa mendapatkan keterangan jelas dari beberapa karyawan yang saat itu sedang aktif bekerja di rumah kompos.
[caption caption="Daun-daun yang siap digiling dengan mesin"]
[caption caption="Danis membolak-balik sampah organik agar kompos menjadi matang"]
Bahan organik sebagai bahan baku kompos berasal dari sisa-sisa sayur, buah dan ikan yang dikumpulkan beberapa pasar di Surabaya. Selain itu dari daun dan ranting-ranting kecil pepohonan yang ada di beberapa ruas jalan dan taman kota yang ditebang oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya. Cabang dan batang pohon yang berukuran besar dimanfaatkan untuk bahan bakar pada saat berlangsung proyek pengaspalan jalan.
[caption caption="Batang pohon yang dipotong-potong untuk bahan bakar proyek pengaspalan"]
Dengan kendaraan pengangkut (dump truck) sampah-sampah organik itu diangkut menuju rumah kompos Jambangan. Ada beberapa mesin pencacah yang siap menghancurkan sampah menjadi potongan kecil-kecil. Untuk satu truk atau dump truck biasanya berisi sampah organik sebanyak 5 - 6 ton.
[caption caption="Mesin pemilah dan pencacah bahan organik di rumah kompos yang baru"]
Teknik pembuatan kompos yang diterapkan oleh Pemkot Surabaya dalam hal ini Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya itu terbilang sederhana. Hasil gilingan sampah tadi dibiarkan menumpuk lalu disirami dengan air. Setiap 2 atau 3 hari sekali dilakukan pembolak-balikan tumpukan bahan kompos sambil diguyuri air.
“Hanya disirami air saja pak tanpa bahan lain” ujar Danis (29 tahun) karyawan rumah kompos Jambangan.
[caption caption="Tumpukan kompos yang siap didistribusikan"]
Demikian seterusnya sampai kompos menjadi matang, butuh waktu sekitar 2 bulan. Kompos hasil inovasi Pemkot Surabaya itu nantinya akan dimanfaatkan kembali sebagai pupuk organik yang ditaburkan ke semua taman dibawah pengelolaan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya.
Di sebelah rumah kompos Jambangan yang berlokasi di bawah jalan tol itu kini sedang dibangun rumah kompos baru dengan dilengkapi mesin pemilah. Kata Danis, kapasitas produksi komposnya jauh lebih besar.
“Masyarakat umum boleh mendapatkan kompos produksi Pemkot Surabaya asalkan seijin dinas yang terkait” imbuh Danis.
[caption caption="Kompos yang sudah jadi/matang berwarna coklat kehitaman"]
Ulasan
Informasi mengenai teknologi pembuatan komposter dewasa ini mungkin sudah berkembang dengan baik tapi kesadaran masyarakat luas untuk mengolah kembali sampah dapurnya (organik) masih dirasakan kurang.
Masyarakat yang tergerak dan ingin menggunakan komposter produksi pabrik yang direkomendasi Balitbang PUPR terkendala oleh harganya yang cukup mahal. Mereka akhirnya menciptakan sendiri dengan mengadopsi teknologi komposter yang sudah diproduksi pabrik.
Secanggih apapun hasil inovasi tanpa proses sosialisasi (penyuluhan/penerangan ke publik) maka akan percuma saja. Itu juga yang terjadi pada komposter canggih buatan pabrik.
Kesimpulan
Apa yang telah dilakukan oleh warga Jambangan dan Pemkot Surabaya soal pengelolaan sampah sebenarnya sudah merupakan salah satu solusi yang inovatif. Teknologi seperti penggunaan mesin pemilah dan pencacah serta komposter yang digunakan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk penerapan inovasi baru.
Sampah tidak langsung dibakar atau dimusnahkan hingga menimbulkan bau asap (gas karbon monoksida) tak sedap yang mengganggu sistem pernafasan manusia di dekatnya. Tapi dengan bijak dikelola agar bernilai ekonomi dan ramah lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H