[caption caption="Salah satu hibrida impor (Thailand), Kochin Paramuai"][/caption]
Bagi mereka yang benar-benar menyukai tanaman hias apakah itu penghobi, kolektor atau praktisi tentu sangat paham dengan keberadaan tanaman hias bernama “Sri Rejeki”. Dulu saya sering melihat tanaman itu ditanam dalam pot-pot model sederhana yang ditempatkan di halaman rumah bahkan di ruang tamu rumah seseorang. Kala itu Sri Rejeki dijadikan tanaman hias klangenan (kesukaan) yang dibanggakan pemiliknya.
Tanaman Sri Rejeki mudah tumbuh dan berkembang membentuk anakan, warna daunnya hijau dengan semburat warna putih. Pertumbuhannya cepat, kadang bila tidak segera dipindahkan ke pot dengan ukuran yang lebih besar maka pot akan pecah karena terdesak perkembangan akarnya. Batangnya mengandung air, konon kata para orang tua waktu itu, bila kulit tubuh kita menyentuh getahnya akan terasa gatal. Ini mitos atau fakta? entahlah saya sendiri juga belum pernah membuktikan kebenarannya.
Seperti namanya, sebagian orang tua kala itu sangat percaya kalau tanaman yang asalnya dari Pulau Sumatera (Aceh) itu merupakan tanaman yang membawa hoki (keberuntungan) bagi pemeliharanya. Tak heran bila orang dulu kemudian tertarik untuk menanam dan menempatkannya di halaman rumah masing-masing. Sri Rejeki (lucky plant) kemudian mengalami perubahan bentuk (morfologi) seiring dengan perjalanan sang waktu.
[caption caption="Aglaonema lama, Sri Rejeki ada yang menamakan Beras Tumpah (Aglaonema nitidum)"]
[caption caption="Aglaonema rotundum"]
[caption caption="Ini juga Aglaonema lama"]
[caption caption="Sejenis Sri Rejeki juga"]
Seorang pemulia (breeder) tanaman kenamaan, Greg (Gregorius) Hambali selama bertahun-tahun melakukan percobaan perkawinan silang (hibridisasi) terhadap Sri Rejeki hingga didapatkan tanaman hias si Raja Daun yang sangat terkenal itu. Raja Daun sebenarnya merupakan julukan terhadap tanaman hias Aglaonema yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari Sri Rejeki.
Sejak tahun 2000-an pamor Aglaonema mulai melejit. Apalagi setelah Greg Hambali berhasil menemukan Pride of Sumatera, yakni sejenis Aglaonema yang memiliki daun dengan motif warna merah. Selain spesies asli Aglaonema Sri Rejeki yang mulai jarang kita temukan dewasa ini, di pasaran ada banyak jenis Aglaonema yang telah dikembangkan meliputi jenis hibrida lokal berkat sumbangsih pemikiran Greg Hambali. Ada pula hibrida impor yang didatangkan dari Negara Thailand.
Daun bagi Aglaonema merupakan bagian terpenting yang selalu mendapat perhatian lebih selain batang dan akarnya. Namanya juga “Raja Daun” jadi daunlah yang menjadi pusat perhatian.
Saat masih boom dulu harga tanaman hias Aglaonema ditentutan dari perlembar daunnya. Saat itu harga perlembar bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan rupiah perlembarnya. Coba bayangkan entah berapa banyak keuntungan yang telah diraup seorang pengusaha Aglaonema kala itu. Sayangnya kejayaan Aglaonema tak bertahan lama, tidak langgeng seperti Anggrek yang harganya relatif stabil.
[caption caption="Pride of Sumatera "(repro)]
Aglaonema akan tumbuh dan berkembang dengan baik di dataran rendah sampai sedang. Meski tidak ngetop lagi tapi Aglaonema tetap memiliki pesona tersendiri di hati penghobinya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika seseorang hendak bercocok tanam Aglaonema itu, antara lain :
Ketinggian tempat di mana para penghobi atau pemilik Aglaonema menumbuh-kembangkan tanamannya merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan bercocok tanam Aglaonema. Di dataran rendah daun baru lebih cepat tumbuh karena sinar matahari lebih banyak tersedia. Butuh waktu antara 25 – 30 hari. Sementara di dataran sedang, yakni pada ketinggian antara 300 – 400 meter di atas permukaan laut ( m dpl) sinar matahari tidak sebanyak di dataran rendah. Pertumbuhan daun baru butuh waktu 35 hari.
[caption caption="Aglaonema hibrida impor, Butterfly"]
Ketinggian tempat jelas berpengaruh pada suhu udara yang ada. Di dataran rendah suhu pada siang hari mencapai 27 – 30 derajad celsius sedangkan pada malam hari suhu berkisar antara 21 – 24 derajad celcius. Pada ketinggian sedang, suhu berkisar antara 24 hingga 27 derajad celcius di siang hari sementara pada malam harinya mencapai 18 sampai 21 derajad celcius.
Suhu yang terlalu rendah seperti di dataran tinggi menyebabkan Aglaonema kekurangan unsur Fosfor (P) hal itu akan merangsang terbentuknya zat hijau daun (khlorofil) sehingga akan menutup warna merah pada daun . Suhu yang terlalu tinggi (panas) juga berpengaruh tidak baik karena warna daun akan menjadi pucat.
[caption caption="Aglaonema hibrida impor, Lady Valentine"]
Tumbuh-kembang Aglaonema juga dipengaruhi kelembaban udara. Kelembaban yang terlalu tinggi karena rendahnya proses penguapan menyebabkan daya serap terhadap zat hara menjadi berkurang. Sebaiknya dikendalikan pada kisaran 50 – 75%. Kelembaban di bawah 50% menyebabkan daun muda cepat mengering dan akhirnya layu sebelum berkembang. Kelembaban di atas 75% memicu tumbuhnya cendawan (jamur) yang pada akhirnya merusak media tanam dan mengganggu pertumbuhan tanaman Aglaonema. Mengendalikan kelembaban udara memang tampak ribet karena memerlukan alat higrometer.
Tanaman Aglaonema termasuk manja dalam perawatannya. Kebutuhan akan intensitas sinar atau cahaya matahari juga tak kalah pentingnya. Kekurangan atau terlalu banyak cahaya juga berpengaruh tidak baik bagi tumbuh-kembang tanaman. Terlalu banyak cahaya matahari menyebabkan daun berwarna seperti terbakar, kuning-coklat-kehitaman (black necrosis). Singkat kata Aglaonema dalam tumbuh-kembangnya butuh cahaya dalam jumlah sedang.
[caption caption="Maniilompech Lipstick, Aglaonema hibrida impor (Thailand)"]
Semua bisa diakali dengan memasang paranet/shading net (jaring-jaring penahan intensitas sinar) atau atap polycarbonate. Misalnya Aglaonema yang dibiakkan di dataran sedang membutuhkan shading net 75%, artinya intensitas cahaya yang masuk diharapkan cuma 25% saja. Sedangkan di dataran rendah, shading net yang dipasang 80 - 85%, cahaya yang masuk berkisar antara 15 - 20% saja.
Komposisi media tanam sebagai tempat tumbuh juga amat penting. Di antara para praktisi/penghobi memiliki banyak pendapat mengenai komposisi media tanam itu. Komposisi yang sederhana umumnya terdiri atas campuran sekam bakar, humus/kompos dan pasir (Malang/Bromo) dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Mengingat sistem perakaran Aglaonema menghendaki porositas media yang baik (porous) maka biasanya praktisi/penghobi/pemula memilih komposisi media yang terdiri atas campuran pakis cacah, pasir, sekam bakar, cocopeat dan kompos dengan perbandingan 2 : 1 : 1 : 1.
Tanaman Aglaonema termasuk unik, tanaman ini memiliki struktur genetika yang labil artinya kadang tanpa melalui perlakuan atau rekayasa khusus tanaman Aglaonema secara alamiah bisa mengalami mutasi genetik dengan sendirinya. Penampilan baru Aglaonema yang dinilai aneh dan unik karena mengalami mutasi itu justru menjadi incaran kolektor atau penghobi. Itu bisa terjadi karena faktor luar seperti penempatan pot yang berubah-ubah atau pemberian pupuk tambahan yang dosisnya berubah-ubah pula.
[caption caption="Donna carmens, Aglaonema hibrida lokal"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H