Kota kecil Cilacap yang dikenal sebagai penghasil semen dan minyak bumi itu ternyata memiliki potensi buah kelapa yang lumayan besar. Biasanya penyebaran pohon kelapa ini bisa kita temukan di banyak kawasan yang berada tidak jauh dari pantai. Namun di banyak daerah pedalaman Cilacap, pohon kelapa itu juga banyak kita temukan di sana.
Di Kecamatan Bantarsari-Cilacap misalnya, hampir di setiap halaman rumah warga kita temukan pohon kelapa. Semakin luas halaman (pekarangan/kebun) seorang warga kemungkinan besar pohon kelapa yang di tanamnya juga banyak.
Pagi itu, sehari setelah lebaran kedua, saya mencoba mendatangi Desa Reong, salah satu desa di Kecamatan Bantarsari yang dikenal sebagai penghasil gula merah (gula kelapa). Sering saya melihat suasana pagi di banyak kawasan pedesaan di Jawa Timur, harusnya di pagi seperti itu keadaan desa sudah riuh-redah dengan aktivitas warga desa.
Apakah itu kesibukan warga desa yang hendak bertani ke sawah atau berbagai aktivitas lainnya. Namun lain dengan Desa Reong, di pagi yang sudah beranjak siang itu tak banyak terlihat warga yang lalu-lalang di jalan desa. Nyaris tak terlihat kesibukan di sana. Apakah karena masih dalam suasana lebaran? Atau memang seperti itu kebiasaan masyarakat desa itu.
Keadaan desa yang lengang itu malah menjadi daya tarik tersendiri. Saya memanjakan mata dengan melihat-lihat panorama alam, keadaan yang sebenarnya di sekeliling desa tanpa rasa sungkan kalau-kalau di ketahui warga desa.
Kebun kelapa yang luas, persawahan yang menghijau, pintu air di pinggiran sawah, rumah-rumah warga desa yang masih sederhana, jalan desa yang sudah mulai rusak dan beberapa warga desa yang sedang bercengkerama satu sama lain menjadi pemandangan menarik yang saya saksikan pagi itu.
Cukup jauh saya melangkahkan kaki memasuki Desa Reong. Terkadang saya berpapasan langsung dan bertegur sapa dengan beberapa warga desa yang dengan ramah menanyakan apa maksud kedatangan saya di pagi itu.
Hari beranjak siang, keringat mulai membasahi badan akibat berjalan kaki cukup jauh, mungkin mencapai 6 sampai 7 kilometeran. Namun saya masih tetap optimis dengan tujuan saya semula yakni melihat dari dekat aktivitas penderes air nira kelapa.
Sekembali dari Desa Reong, kira-kira 2 kilometer dari pusat desa, saya menemukan seorang penderes bernama Ngadino. Benar-benar mujur, seperti yang saya harapkan.
Di kesempatan itu, dengan logat Ngapak-ngapaknya, Ngadino bercerita secara gamblang tentang suka-dukanya sebagai penderes. Pria berputra satu itu sebenarnya sudah merasa kapok karena pernah terjatuh dari pohon kelapa saat sedang “nderes” (menyadap air gula/nira) kelapa.
Bisa Anda bayangkan sendiri bagaimana rasanya terjatuh dari pohon kelapa yang tingginya bisa mencapai 20 meter itu sementara di bawahnya tanpa alas atau pelindung apapun. Mak brekk aja, begitu kira-kira. Sakitnya tak terkira mungkin langsung cedera bahkan bisa berakibat fatal sampai meninggal pula.
Dari ekspresi wajahnya masih tersirat rasa trauma yang begitu berat. Teringat peristiwa naas dimana ia pernah terjatuh dari pohon kelapa hingga menyebabkan ia harus opname di rumah sakit untuk beberapa lamanya.
Ia sempat trauma berat dengan kejadian itu. Bahkan sudah menyatakan diri kepada semua warga desa untuk tidak melakoni lagi profesi subagai tukang nderes yang sudah dijalaninya semenjak masih muda itu. Meminjam istilah Cilacap, pendek kata ia sudah “kawus” (kapok) dan menyatakan berhenti.
Tapi entah mengapa profesi berisiko itu belakangan ini mulai ditekuninya kembali. Seolah dengan mudahnya ia melupakan kejadian masa lalu yang nyaris merenggut nyawanya. Nyatanya saat sedang nderes siang itu kondisi badannya terlihat fit dan tampak bersemangat sekali.
Tak lupa ia membubuhkan bahan berupa Sodium Metabisulfit secukupnya agar cairan nira mudah mengental (mengeras). Sore harinya ia memanjat kembali pohon-pohon kelapa itu dan mengambil hasil nira deresannya untuk kemudian disetorkan kepada perajin gula kelapa di Desa Reong.
Sayang sekali saya belum berkesempatan melihat langsung proses pembuatan gula kelapa di desa itu. Meski demikian menurut cerita Ngadino, cairan nira yang sudah dikumpulkan dari banyak pohon kelapa itu dimasak dalam wajan besar bisa juga menggunakan kuali dari tanah liat.
Biasanya menggunakan api dari kayu bakar. Cairan nira diaduk-aduk dalam waktu yang cukup lama hingga mengental hingga siap dimasukkan ke dalam cetakan sesuai bentuk dan ukuran yang dikehendaki.
Ngadino menjadi salah seorang yang berjasa meningkatkan gizi masyarakat Indonesia, betapa tidak gula kelapa (merah) yang dihasilkan melalui tangan-tangan terampil para penderes seperti Ngadino ternyata memiliki kandungan gizi yang tak kalah dengan gula dari bahan lain seperti tebu atau aren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H