Dari ekspresi wajahnya masih tersirat rasa trauma yang begitu berat. Teringat peristiwa naas dimana ia pernah terjatuh dari pohon kelapa hingga menyebabkan ia harus opname di rumah sakit untuk beberapa lamanya.
Ia sempat trauma berat dengan kejadian itu. Bahkan sudah menyatakan diri kepada semua warga desa untuk tidak melakoni lagi profesi subagai tukang nderes yang sudah dijalaninya semenjak masih muda itu. Meminjam istilah Cilacap, pendek kata ia sudah “kawus” (kapok) dan menyatakan berhenti.
Tapi entah mengapa profesi berisiko itu belakangan ini mulai ditekuninya kembali. Seolah dengan mudahnya ia melupakan kejadian masa lalu yang nyaris merenggut nyawanya. Nyatanya saat sedang nderes siang itu kondisi badannya terlihat fit dan tampak bersemangat sekali.
Tak lupa ia membubuhkan bahan berupa Sodium Metabisulfit secukupnya agar cairan nira mudah mengental (mengeras). Sore harinya ia memanjat kembali pohon-pohon kelapa itu dan mengambil hasil nira deresannya untuk kemudian disetorkan kepada perajin gula kelapa di Desa Reong.
Sayang sekali saya belum berkesempatan melihat langsung proses pembuatan gula kelapa di desa itu. Meski demikian menurut cerita Ngadino, cairan nira yang sudah dikumpulkan dari banyak pohon kelapa itu dimasak dalam wajan besar bisa juga menggunakan kuali dari tanah liat.
Biasanya menggunakan api dari kayu bakar. Cairan nira diaduk-aduk dalam waktu yang cukup lama hingga mengental hingga siap dimasukkan ke dalam cetakan sesuai bentuk dan ukuran yang dikehendaki.
Ngadino menjadi salah seorang yang berjasa meningkatkan gizi masyarakat Indonesia, betapa tidak gula kelapa (merah) yang dihasilkan melalui tangan-tangan terampil para penderes seperti Ngadino ternyata memiliki kandungan gizi yang tak kalah dengan gula dari bahan lain seperti tebu atau aren.