Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pria-pria Tangguh dari Lereng Tanggamus #DibalikSecangkirKopi

12 Juni 2015   07:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usai mengunjungi kebun percontohan (edu farm), para peserta diajak melihat langsung cara pengolahan buah kopi sebelum dikirim ke pabrik Nescafe di Kota Panjang, Lampung.

Salah satu tempat pengolahan buah kopi yang kami kunjungi adalah Kelompok Usaha Bersama (KUB) milik Pak Konstianto yang ada di Desa Air Naningan, Tanggamus. Sebenarnya ada 8 atau 9 KUB dengan jumlah anggota sebanyak 2000 – 3000 petani di setiap KUB yang tersebar di wilayah Tanggamus itu. Namun karena terbatasnya kesempatan maka yang kita kunjungi hanya beberapa KUB saja.

Konstianto, pria yang lahir 60 tahun silam itu kini mengkoordinir sekitar 2100 petani yang terbagi ke dalam 81 kelompok tani. Lahan perkebunan kopi yang ia bina luasnya mencapai 2784,4 hektar.

KUB Robusta Prima milik Pak Konstianto itu masih menggunakan cara semi mekanis (setengah mesin) untuk proses pengupasan biji kopinya. Dengan cara ini memang terkesan kuno namun bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja. Selain menggunakan mesin pengupas kulit biji kopi berkapasitas sedang, Konstianto juga mempekerjakan perempuan-perempuan di desanya untuk menampi biji-biji kopi itu

Proses pengeringan biji kopi masih harus dihamparkan pada sebuah lantai dan itu sangat tergantung pada kondisi cuaca saat itu. Musim hujan menjadi masalah tersendiri pada proses penjemuran buah kopi itu. Ada 14 orang tenaga wanita dan 9 orang pria yang bekerja di KUB Robusta Prima.

Para pekerja itu seharinya dibayar 40 - 60 ribu rupiah. Pihak Nescafe (Nestle) hanya membeli biji kopi berkualitas bagus dengan kadar air 12% dan defect maksimum 80%.

Untuk sekilo biji kopi dibeli Nestle dengan harga 21 - 23 ribu. Untuk proses penjemuran, lelaki pensiunan pegawai negeri itu menggunakan pekerja borongan. Untuk 1 kilogram biji kopi upahnya Rp. 20,-. Dalam sehari KUB Robusta Prima bisa menghasilkan 400 kuintal biji kopi berkualitas bagus siap kirim.

“Kalau penghasilan saya melulu menggantungkan pada tanaman kopi jelas kurang mas” ungkap Pak Konstianto kepada saya siang 2/6/2015.

Meski demikian lelaki berputra tiga itu setahunnya bisa meraup 30 juta rupiah (kotor) dari hasil panen kopi saja. Di lahan seluas 3 hektar itu ia tidak hanya membudidayakan tanaman kopi, tanaman lain seperti pisang dan lada juga ia tanam di kebun miliknya itu.

“Hasil lada dan pisang juga lumayan mas buat meningkatkan penghasilan kami” cetus Konstianto penuh semangat.

Untuk sekilo lada bisa ia jual dengan harga 100 ribu rupiah. Sedangkan pisang dalam satu tahun bisa dipanen sebanyak 15 kali. Setiap 20 hari sekali ia bisa memanen sebanyak 9 kuintal pisang yang bisa dijual dengan harga 1 juta rupiah.

Menjalani hidup sebagai petani kopi tentu tidak selalu berjalan mulus. Ada saja kendalanya termasuk yang dialami Pak Konstianto.

“Saya kesulitan mencari tenaga muda untuk KUB Robusta Prima” keluh Konstianto.

Menurut pengakuannya, anak-anak muda di desanya kini lebih tertarik untuk bekerja di kota-kota besar. Sedangkan yang tersisa hanya orang-orang tua yang produktivitasnya sudah menurun.

Setelah meninjau KUB Robusta Prima milik Konstianto, perjalanan kami lanjutkan menuju Desa Tekad, Panggung-Tanggamus. Desa ini berada di ketinggian 600 mdpl (meter di atas permukaan laut). Ada seorang petani kopi yang hendak kami temui di sana, Pak Veri namanya.

Berbeda dengan Konstianto yang memiliki kebun kopi seluas 3 hektar, lahan Veri (37) tidak begitu luas. Ia hanya mengusahakan tanaman kopinya di kebun seluas 1/2 hektar. Itupun kebun peninggalan orang tuanya. Bila diperhatikan, pohon-pohon kopi yang ada di lahan Veri itu jarak tanamnya tidak teratur. Ada tanaman kopi yang sudah tua dan sebagian lagi baru ia tanam.

Dalam setahun ia bisa memanen sebanyak 800 kilogram kopi dengan nilai rupiah berkisar antara 16 – 18 juta. Meski penghasilannya tak sebanyak Konstianto namun Veri tetap tekun dan bersemangat merawat 800 pohon kopi warisan orang tuanya itu.

Sedikit berbeda dengan Konstianto yang nota bene sebagai pemilik KUB Robusta Prima, masalah yang dihadapi Veri justru pada bagaimana mempertahankan penghasilan dari bertanam kopi di lahannya yang tidak begitu luas itu. Kendala seperti masa paceklik selama 8 bulan, harga yang kadang dipermainkan oleh para tengkulak selalu saja ia hadapi dari waktu ke waktu.

Menurutnya dari masalah itulah kemudian peran Nescafe (Nestle) sangat diperlukan. Sumbangsih perusahaan kopi kenamaan itu sangat ia rasakan.

“Nestle telah memberi bantuan saya berupa bibit tanaman kopi secara gratis, pelatihan-pelatihan juga pendamping yang siap memecahkan masalah di kebun, Nestle juga berperan dalam pengendalian harga kopi” ungkap Veri.

Lahan kopi milik Veri berada di lereng Gunung Tanggamus, meski tak terlalu luas, ia tetap saja menerapkan pola bercocok tanam kopi yang benar. Di buatnyalah terasering (sengketan) untuk mengatasi bahaya erosi.

Ia juga rajin melakukan pemangkasan untuk cabang tanaman kopi yang telah kering. Setelah 3 – 4 kali berproduksi maka cabang itu perlu dipangkas agar muncul cabang baru yang lebih produktif. Veri juga menceritakan pengalaman memanen kopi di kebunnya, ia memanen tanaman kopinya sebanyak 3 kali dalam setahun.

Pertama ia lakukan pada Bulan Mei. Selang 2 bulan kemudian, yakni Juni dan Juli pemanenan kembali ia lakukan dan puncaknya, pemanenan ia lakukan pada Bulan September dengan hasil bisa mencapai 500 kilogram.

Untuk tanaman kopi yang sudah tidak produktif, Veri menggantinya dengan tanaman baru. Cara ini juga biasa dilakukan oleh petani kopi lainnya. Namun untuk bisa melihat tanaman kopi berproduksi sempurna butuh waktu yang cukup lama. Dan itu menjadi masalah tersendiri bagi Veri juga petani kopi lainnya.

Belum puas dengan mendatangi KUB Robusta Prima dan kebun kopi milik Veri, panitia masih mengajak kami mengunjungi KUB Bintang Jaya yang dikelola oleh Pak H. Suhartono.

KUB Bintang Jaya ini terbilang maju, proses pengolahan buah kopi hingga menjadi biji kopi yang siap dikirim ke pabrik sepenuhnya menggunakan tenaga mesin (full mekanis).

“Untuk 1 set mesin pengolah biji kopi itu saya berinvestasi senilai 1,3 milyar” ungkap H. Suhartono.

Dalam waktu 1 jam mesin pengolah biji kopi miliknya mampu menghasilkan kopi sebanyak 6,5 ton dengan kadar air 20% atau 9 ton kopi kering dengan kadar air 12%.

Di awal berdirinya, KUB Bintang Jaya hanya memiliki 12 kelompok tani. Kala itu H. Suhartono masih bergabung dengan KUB Mawar binaan Pak Adi yang sudah berdiri sejak tahun 2002 hingga 2008. Baru pada tahun 2010 berdirilah KUB Bintang Jaya yang kini beranggotakan lebih dari 3200 petani yang terbagi ke dalam 91 kelompok tani.

Pabrik pengolah biji kopi milik H. Suhartono berdiri di areal seluas 20 X 42 meter persegi. Dalam sehari pabriknya bisa menampung 63 ton ( 6-7 mobil) kopi dari para petani binaannya. Meski menggunakan mesin pengolah yang cukup canggih namun kehadiran tenaga manusia tetap saja diperlukan oleh KUB Bintang Jaya. Ada 9 orang yang belerja di KUB itu.

Diakui oleh H. Suhartono bahwa KUB nya bisa berkembang pesat seperti yang terlihat sekarang itu juga berkat bimbingan dan penyuluhan dari pihak Nescafe.

“Untuk menjadi pemasok kopi (vendor) itu tidak mudah mas” ungkap H. Suhartono.

Nestle memberlakukan beberapa syarat, diantaranya harus ada kelompok tani, programnya menyentuh dan mensejahterakan para petani dan tentu harus memenuhi standar SNI (ISO). Sehingga hanya biji kopi yang sesuai standar Nescafe (grade 4) saja yang dibeli.

“Dulu saya cuma tukang ojek kopi, mengangkut kopi dari Gunung Sari kemudian dijual ke Talang Padang” cerita pria berputra 7 kelahiran 1959 itu.

Tak tanggung-tanggung, dalam sehari penghasilan H. Suhartono itu bisa mencapai 7,5 juta (kotor) dan semua itu diperolehnya setelah melalui perjuangan yang cukup panjang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun