[caption id="attachment_416395" align="aligncenter" width="500" caption="Salah satu pekerja di pabrik tenun Ista"][/caption]
Muncul rasa kaget ketika pertama kali memasuki Dusun Jambu, Desa Semampir, Cerme-Gresik. Semula saya mengira dusun ini (maaf) kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya rendah sebab jauh dari pusat Kota Cerme.
Lagipula untuk bisa sampai ke areal perumahan warga Dusun Jambu jarak dari gapura masuk masih cukup jauh. Jalan ke sana memang sudah beraspal mulus dan menariknya di sebelah kanan-kiri jalan masuk dusun itu terhampar usaha pertambakan warga setempat.
Dugaan saya meleset, begitu berada di tengah dusun ternyata rumah-rumah warga di sana keadaannya rata-rata bagus. Bangunannya juga permanen. Tak jarang di halamannya juga terlihat mobil pribadi keluaran baru.
[caption id="attachment_416397" align="aligncenter" width="300" caption="Gapura masuk Dusun Jambu, Cerme-Gresik"]
[caption id="attachment_416398" align="aligncenter" width="300" caption="Areal pertambakan warga menuju Dusun Jambu"]
Dusun Jambu didiami oleh penduduk yang mayoritas mata pencariannya sebagai petani tambak. Sebagian memang sekaligus menjadi pemilik tambak-tambak itu. Sebagian lagi memilih menjadi perajin sarung tenun.
Dari sekian banyak perajin sarung tenun yang ada di Dusun Jambu, Ista’ahlah yang terlihat cukup menonjol. Dari pemilik toko yang ada di perempatan pertama jalan masuk dusun saya dapatkan keterangan dimana letak rumah Ista’ah.
Suara khas alat tenun tradisional santer terdengar saat saya memasuki pabrik tenunnya pagi itu. Pikir saya, inilah saat yang tepat melihat langsung kesibukan perajin tenun Dusun Jambu.
[caption id="attachment_416400" align="aligncenter" width="250" caption="Ista"]
Perempuan berparas ayu kelahiran 1983 itu kini usahanya berkembang pesat sehingga namanya terdengar di seluruh Kota Gresik bahkan mungkin se-Indonesia.
“Kini mesin tenun kami mencapai 150 unit, sebagian ada di Desa Benjeng dan Cerme” tutur Ista’ah memulai ceritanya.
“Untuk membesarkan usaha ini tidaklah mudah mas, butuh kerja keras dan ketekunan” lanjutnya.
[caption id="attachment_416401" align="aligncenter" width="250" caption="Setia memantau pekerjanya"]
Ia sempat merasakan jatuh-bangun gara-gara usaha ini. Awalnya ia hanya memiliki beberapa unit mesin tenun, kini bisa mencapai ratusan. Sebuah prestasi yang membanggakan. Ista’ah mengaku keahlian menenun dan mengelola usaha sarung tenun itu ia dapatkan dari orang tuanya.
Usaha sarung tenun yang dirintis orang tua Ista’ah mulai berdiri sejak tahun 1982. Bagi warga Dusun Jambu sendiri, usaha tenun-menenun sebenarnya sudah ada sejak 60 tahun silam.
Kiprah Ista’ah memang patut diacungi jempol, dari usaha sarung tenunnya itu ia bisa mempekerjakan para penduduk Dusun Jambu yang secara ekonomi kurang mampu. Bahkan tak sedikit dari para pekerja itu berasal dari pemuda-pemudi yang tak bisa mengenyam pendidikan lebih tinggi alias drop out.
“Kami mencoba memberdayakan warga sini, mengajari hingga bisa menenun” terangnya.
[caption id="attachment_416405" align="aligncenter" width="300" caption="Sebagian pekerja Ista"]
Wanita muda itu dengan telaten membimbing warganya yang berminat menenun hingga dihasilkan sarung tenun berkualitas baik. Menurutnya menenun hingga menjadi sehelai sarung membutuhkan proses yang cukup panjang dan rumit. Untuk sehelai sarung tenun butuh waktu 1 sampai 2 hari.
Apalagi untuk tenun songket yang pengerjaannya lebih njlimet perlu waktu beberapa hari untuk pembuatan sehelainya.
[caption id="attachment_416406" align="aligncenter" width="400" caption="Menggulung benang sebelum penenunan"]
[caption id="attachment_416407" align="aligncenter" width="400" caption="Benang mentah sebelum pencelupan"]
[caption id="attachment_416408" align="aligncenter" width="400" caption="Pencelupan"]
Tahap pertama dimulai dengan memasukkan benang mentah ke dalam bak pencelupan. Mengingat volume usaha sarung tenun Ista’ah sudah berkembang pesat maka bak-bak pencelupan dibuat lebih banyak hal itu untuk mengantisipasi lonjakan permintaan dari negara pemesan. Perlu diketahui bahwa sarung tenun buatan Ista’ah itu bisa menembus pasar di Timur-Tengah dalam hal ini Negara Yaman.
[caption id="attachment_416410" align="aligncenter" width="400" caption="Melibatkan tenaga dari remaja putus sekolah"]
[caption id="attachment_416411" align="aligncenter" width="400" caption="Dipindah ke dalam gulungan kecil"]
[caption id="attachment_416413" align="aligncenter" width="400" caption="Kain sarung tenun dipentang"]
[caption id="attachment_416414" align="aligncenter" width="400" caption="Membuat disain (corak)"]
Setelah benang mentah dicelup kemudian dilakukan pewarnaan. Pewarna sengaja dipilih dari bahan yang berkualitas karena sarung tenun produksi pabrik Ista’ah berorientasi ekspor. Bila tahap pewarnaan selesai selanjutnya dihasilkan benang kloss.
Tahap selanjutnya melakukan proses skir hingga diperoleh boom. Dari situlah proses penenunan mulai dilakukan. Proses penenunan masih berlanjut, setelah tahap penenunan dihasilkanlah sehelai sarung. Kain sarung tenun yang sudah jadi kemudian dijahit lalu dilakukan pencucian. Sebelum dilipat sarung tenun yang sudah dicuci tadi kemudian dipentang dengan menggunakan dua bilah kayu.
Pementangan bertujuan agar kain sarung tenun menjadi kering-angin sebelum akhirnya disetrika dan dilipat. Agar proses pengepakan menjadi lebih efisien maka dilakukan pengepresan sebelum dikirim keagen lokal yang ada di kawasan Ampel Surabaya atau negara pemesan seperti Yaman di Timur-Tengah.
[caption id="attachment_416416" align="aligncenter" width="400" caption="Mesin pres"]
[caption id="attachment_416417" align="aligncenter" width="400" caption="Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)"]
Dalam seminggu Ista’ah bersama anak buahnya bisa menghasilkan 400 helai (20 kodi) sarung tenun. Dimana 1 kodinya dihargai 5,5 juta rupiah. Sarung tenun kreasi Ista’ah diminati warga negara asing karena dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Sepintas alat-alat tenun itu terlihat sangat sederhana.
“Justru dengan alat tenun tradisional itu hasilnya sangat unik dan bernilai” ujar Ista’ah dengan bangga.
Selain menenun tahap pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah membuat corak dan tumpal. Ada tenaga ahli yang secara khusus menangani pekerjaan ini. Corak atau disain disesuaikan dengan selera pemesan.
Ista’ah menggaji pekerjanya seminggu sekali. Ada sekitar 155 orang termasuk tenaga serabutan yang membantu Ista’ah. Di pabrik sarung tenun seluas 1500 meter persegi itu mereka saling bahu-membahu memproduksi sarung tenun khas Desa jambu Gresik. Untuk pekerja sarung tenun berkualitas biasa ia gaji Rp. 50.000,- perharinya. Sedangkan pekerja kain tenun songket, gajinya bisa mencapai Rp. 200.000,- perharinya.
[caption id="attachment_416418" align="aligncenter" width="400" caption="Siap dikirim ke agen lokal dan luar negeri"]
Kegigihan Ista’ah menjalankan usaha sarung tenun khas Dusun Jambu ternyata tak sia-sia belaka. Ia menjadi penyelamat warga dusunnya dari kemiskinan. Sebagian remaja putus sekolah di kampungnya juga ia berdayakan dengan bekerja di pabrik tenunnya. Hidupnya kini serba berkecukupan. Wanita muda berputra dua itu bersama keluarga berhasil menunaikan ibadah haji sepuluh tahun yang lalu.
Perajin sarung tenun yang dibuat dengan menggunakan alat tradisional (ATBM) dewasa ini sangat jarang kita temukan. Mungkin karena proses pembuatannya yang panjang dan rumit. Tapi ditangan kreatif Ista’ah dan pekerjanya, sarung tenun yang merupakan budaya asli Indonesia itu masih tetap terjaga kelestariannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H