[caption id="attachment_416413" align="aligncenter" width="400" caption="Kain sarung tenun dipentang"]
[caption id="attachment_416414" align="aligncenter" width="400" caption="Membuat disain (corak)"]
Setelah benang mentah dicelup kemudian dilakukan pewarnaan. Pewarna sengaja dipilih dari bahan yang berkualitas karena sarung tenun produksi pabrik Ista’ah berorientasi ekspor. Bila tahap pewarnaan selesai selanjutnya dihasilkan benang kloss.
Tahap selanjutnya melakukan proses skir hingga diperoleh boom. Dari situlah proses penenunan mulai dilakukan. Proses penenunan masih berlanjut, setelah tahap penenunan dihasilkanlah sehelai sarung. Kain sarung tenun yang sudah jadi kemudian dijahit lalu dilakukan pencucian. Sebelum dilipat sarung tenun yang sudah dicuci tadi kemudian dipentang dengan menggunakan dua bilah kayu.
Pementangan bertujuan agar kain sarung tenun menjadi kering-angin sebelum akhirnya disetrika dan dilipat. Agar proses pengepakan menjadi lebih efisien maka dilakukan pengepresan sebelum dikirim keagen lokal yang ada di kawasan Ampel Surabaya atau negara pemesan seperti Yaman di Timur-Tengah.
[caption id="attachment_416416" align="aligncenter" width="400" caption="Mesin pres"]
[caption id="attachment_416417" align="aligncenter" width="400" caption="Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM)"]
Dalam seminggu Ista’ah bersama anak buahnya bisa menghasilkan 400 helai (20 kodi) sarung tenun. Dimana 1 kodinya dihargai 5,5 juta rupiah. Sarung tenun kreasi Ista’ah diminati warga negara asing karena dibuat dengan menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Sepintas alat-alat tenun itu terlihat sangat sederhana.
“Justru dengan alat tenun tradisional itu hasilnya sangat unik dan bernilai” ujar Ista’ah dengan bangga.
Selain menenun tahap pekerjaan yang tak kalah pentingnya adalah membuat corak dan tumpal. Ada tenaga ahli yang secara khusus menangani pekerjaan ini. Corak atau disain disesuaikan dengan selera pemesan.
Ista’ah menggaji pekerjanya seminggu sekali. Ada sekitar 155 orang termasuk tenaga serabutan yang membantu Ista’ah. Di pabrik sarung tenun seluas 1500 meter persegi itu mereka saling bahu-membahu memproduksi sarung tenun khas Desa jambu Gresik. Untuk pekerja sarung tenun berkualitas biasa ia gaji Rp. 50.000,- perharinya. Sedangkan pekerja kain tenun songket, gajinya bisa mencapai Rp. 200.000,- perharinya.
[caption id="attachment_416418" align="aligncenter" width="400" caption="Siap dikirim ke agen lokal dan luar negeri"]
Kegigihan Ista’ah menjalankan usaha sarung tenun khas Dusun Jambu ternyata tak sia-sia belaka. Ia menjadi penyelamat warga dusunnya dari kemiskinan. Sebagian remaja putus sekolah di kampungnya juga ia berdayakan dengan bekerja di pabrik tenunnya. Hidupnya kini serba berkecukupan. Wanita muda berputra dua itu bersama keluarga berhasil menunaikan ibadah haji sepuluh tahun yang lalu.
Perajin sarung tenun yang dibuat dengan menggunakan alat tradisional (ATBM) dewasa ini sangat jarang kita temukan. Mungkin karena proses pembuatannya yang panjang dan rumit. Tapi ditangan kreatif Ista’ah dan pekerjanya, sarung tenun yang merupakan budaya asli Indonesia itu masih tetap terjaga kelestariannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H