[caption id="attachment_407702" align="aligncenter" width="500" caption="Pak Wagiso yang setia memandu saya"][/caption]
Bukan pertama kalinya saya mengunjungi Kecamatan Trowulan, Mojokerto-Jawa Timur. Beberapa tahun yang lalu, tepatnya 5 November 2012 saya juga sempat mengunjungi kawasan ini. Kemarin, 30 Maret 2015 saya kembali datang ke Trowulan. Bukan tanpa alasan, daripada pulang dari Jombang tanpa hasil mendingan saya mampir saja ke kawasan Trowulan.
Saya dan ratusan bahkan ribuan orang lainnya gagal menembus lapangan Kecamatan Wonosalam-Jombang-Jawa Timur di mana saat itu tengah berlangsung acara tahunan “pesta durian”. Karena lapangan kecamatan yang sudah penuh sesak oleh puluhan ribu bahkan ratusan ribu pengunjung maka pihak kepolisian menyarankan agar saya dan pengunjung lainnya tak perlu meneruskan perjalanan menuju Kecamatan Wonosalam.
Asal tahu saja, pesta durian ini telah menjadi agenda tahunan Kota Jombang. Kecamatan Wonosalam-Jombang sebagai penyelenggara acara memang dikenal sebagai sentranya durian berkualitas. Banyak orang mengatakan kalau rasa durian Wonosalam bukan saja manis tapi juga legit.
Acara pesta durian itu sudah diketahui oleh masyarakat luas. Hal itu pula yang menarik perhatian saya. Uniknya para pengunjung bisa mencicipi lezatnya durian Wonosalam secara gratis. Makan sepuasnya tapi tidak diperkenankan untuk dibawa pulang.
Saya dan ribuan pengunjung lainnya harus rela pulang kembali ke rumah masing-masing. Nah kebetulan kawasan Trowulan yang dulu pernah menjadi pusat Kerajaan Majapahit itu berada satu lintasan yang harus saya lewati ketika kembali ke Gresik. Pikir saya ketimbang perjalanan sia-sia mendingan mampir ke Trowulan, lumayan berwisata sejarah melengkapi kunjungan sebelumnya.
[caption id="attachment_407705" align="aligncenter" width="400" caption="Plakat menuju lokasi Candi Minak Jinggo"]
Tempat pertama yang saya datangi adalah Desa Unggah-unggahan lokasi di mana Candi Minak Jinggo berada. Nama Minak Jinggo mengingatkan saya pada seorang tokoh yang sakti mandraguna dari Kadipaten Blambangan, sekarang Banyuwangi.
Nama Minak Jinggo begitu populer khususnya bagi mereka yang tinggal di Jawa Timur. Tak hanya kondang, Minak Jinggo juga diadobsi menjadi nama (merk) rokok.
Lalu apa kaitan candi ini dengan sang tokoh yang dalam masyarakat Jawa digambarkan sebagai sosok yang kejam, sakti dan membawa senjata pusaka berupa gada berwarna kuning.
Untuk menjawab semua itu saya temui Pak Wagiso, beliau seorang tokoh sekaligus pemerhati warisan purbakalaMajapahit di Trowulan.
“Dinamakan Candi Minak Jinggo karena dulu ditemukan arca berwujud raksasa bersayap di lokasi candi itu” terang Pak Wagiso.
“Masyarakat desa menganggap arca raksasa bersayap itu sebagai sosok Minak Jinggo yang terkenal berwatak bengis dan menakutkan, ya seperti raksasa bertaring dan berwajah seram itu dik” imbuhnya.
[caption id="attachment_407723" align="aligncenter" width="300" caption="Arca raksasa bersayap (Minak Jinggo) di Museum Purbakala Trowulan"]
Setelah diteliti lebih lanjut ternyata arca raksasa bersayap itu sebenarnya merupakan wujud garudeya (garuda).Di bagian mulut arca sedikit mengalami kerusakan (pecah). Masyarakat di sana melihat arca garuda ini seperti sosok raksasa bertaring.
[caption id="attachment_407725" align="aligncenter" width="400" caption="Arca raksasa bersayap dari sisi lain"]
Kini di lokasi ditemukannya Candi Minak Jinggo, yang namanya arca bersayap itu sudah tidak ada lagi. Arca itu sekarang berada di Museum Purbakala Trowulan. Untung saja pada kunjungan tahun 2012 yang lalu saya sempat mengabadikan arca ini meski belum sempat mengunjungi Candi Minak Jinggo.
Tidak banyak pengunjung yang tertarik mendatangi Candi Minak Jinggo. Mungkin karena bentuknya yang sudah tidak utuh lagi bahkan terlihat berantakan.
[caption id="attachment_407707" align="aligncenter" width="400" caption="Bongkahan batu andesit penyusun Candi Minak Jinggo"]
Bila Anda memasuki jalan kecil menuju lokasi Candi Minak Jinggo, yang tampak pertama kali adalah kumpulan batuan candi dari bahan andesit (batu gunung). Sebagian bongkahan batu itu sudah diberikan kode khusus.
Di sebelahnya lagi terdapat beberapa lapis tumpukan bongkahan batu candi yang sudah berlumut. Bila diperhatikan pada bongkahan-bongkahan batu itu berhiaskan relief cantik yang hingga kini belum pernah ditafsirkan oleh para arkeolog Indonesia.
[caption id="attachment_407710" align="aligncenter" width="400" caption="Salah satu bongkahan dengan relief yang cantik"]
Bila kita melangkah lagi, beberapa puluh meter dari lokasi tumpukan batuan andesit itu, akan terlihat sebuah bangunan pelindung yang atapnya terbuat dari plat seng dengan banyak tiang penyangga dari bambu di mana sebagian telah keropos. Di bawahnya tampaksusunan batu bata purbakala dengan bentuk yang belum diketahui.
“Bongkahan batu andesit tadi itu digali dari sini dik” kata Pak Wagiso sambil menunjuk ke arah tumpukan bata purbakala yang ada di bawah bangunan pelindung.
Saya mengira Candi Minak Jinggo itu hanya berupa bongkahan batuan andesit yang saya lihat saat pertama kali memasuki jalan kecil menuju candi. Ternyata bongkahan batuan andesit itu hanya bagian kecil dari tumpukan batu bata purbakala yang ada di bawah bangunan pelindung.
[caption id="attachment_407712" align="aligncenter" width="400" caption="Tumpukan bata purbakala di bawah bangunan pelindung"]
Pak Wagiso dengan ihlasnya memandu saya menuju tumpukan bata purbakala itu. Di bawah bangunan pelindung itu terlihat beberapa lubang galian yang kosong, hanya ada beberapa bongkahan batu andesit berukuran kecil.
[caption id="attachment_407714" align="aligncenter" width="400" caption="Bongkahan bermotif rahang ular"]
Sementara di lubang galian lainnya ditemukan sebongkah batu andesit dengan bentuk mirip rahang ular (naga). Penggalian terus dilanjutkan sejak tahun 1977, di sebelah lubang galian ditemukannya batu andesit bermotif rahang ular juga ditemukan bongkahan batu andesit lainnya dengan relief menarik tapi kurang jelas maknanya.
[caption id="attachment_407717" align="aligncenter" width="400" caption="Bongkahan batu andesit dengan relief menarik "]
Meski wujud Candi Minak Jinggo yang sebenarnya masih menjadi tanda tanya diantara para arkeolog namun keberadaan bongkahan batu andesit itu justru menunjukkan kalau Candi Minak Jinggo itu unik dan berbeda dari semua candi Majapahit yang umumnya terbuat dari batu bata merah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H