[caption id="attachment_389430" align="aligncenter" width="500" caption="Kalpataru Sunan Bonang di Museum Kambang Putih Tuban"][/caption]
Perjalanan sejarah Kota Tuban tidak lepas dari nama besar Sunan Bonang dan Kaisar Kubhilai Khan dari Kerajaan Mongolia. Mengapa demikian? Melalui Sunan Bonanglah Islam dapat berkembang luas di kota yang terletak di pesisir utara Laut Jawa ini.
Jauh-jauh hari sebelum Sunan Bonang mengenalkan Islam di Tuban, ribuan tentara Tar-tar sempat mendarat di pantai Tuban ini.
Bukan tanpa alasan, mereka datang atas perintah Kaisar Kubhilai Khan. Pasukan Kerajaan Mongolia itu berdatangan dengan maksud hendak menghukum Prabu Kertanegara yang sebelumnya diketahui menghina kewibawaan sang kaisar karena berani melukai telinga utusan kaisar.
[caption id="attachment_389431" align="aligncenter" width="400" caption="Museum Kambang Putih di Tuban, Jawa Timur"]
Nah untuk mengetahui secara lebih jelas jejak sejarah Sunan Bonang dan pasukan Tar-tar dari Mongolia itu saya coba mengunjungi Museum Kambang Putih. Museum ini berada di sebelah selatan alun-alun Tuban, tepatnya di Jalan Kartini Tuban.
Sebagian warisan Sunan Bonang dan pasukan Tar-tar masih tersimpan rapi di museum ini. Menurut Rony Firman, arkeolog Museum Kambang Putih, koleksi museum yang berupa tiang penyangga berbentuk “Kalpataru” itu paling banyak diminati pengunjung museum selain jangkar kapal peninggalan tentara Tar-tar.
Pihak museum mendapatkan tiang penyangga sebuah bangunan mirip pendopo yang oleh masyarakat setempat disebut “pendopo rante” dari situs makam Sunan Bonang.
Uniknya tiang yang terbuat dari kayu jati bercabang empat itu bermotif tumbuhan, fauna dan bangunan suci dari empat agama (Islam, Hindu, Budha dan Tri Dharma) atau biasa disebut kalpataru (pohon kehidupan).
“Bangunan suci dari empat agama yang diukir pada satu tempat mempunyai makna filosofis sebuah harapan yakni merajut harmoni, membangun kerukunan dan persatuan umat beragama yang tertuang dalam kalpataru itu” terang Rony Firman.
“Semua dengan satu tujuan Mas, yakni pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disimbolkan dengan satu tiang yang tegak ke atas” lanjut Rony dengan meyakinkan.
Pak Rony kemudian mengajak saya menuju teras bagian utara Museum Kambang Putih. Di tempat itu saya melihat besi sauh (jangkar) berwarna hitam.
[caption id="attachment_389432" align="aligncenter" width="400" caption="Rony Firman dan jangkar kapal tentara Tar-tar dari Mongolia"]
“Ini jangkar bukan sekedar jangkar Mas, jangkar ini peninggalan tentara Tar-tar” ungkap Rony Firman. Jangkar berlengan empat setinggi 182 sentimeter dengan cincin kemudi dan rantai itu ditemukan di Desa Bancar, Tuban-Jawa Timur.
[caption id="attachment_389433" align="aligncenter" width="400" caption="Ini juga jangkar warisan pasukan Tar-tar"]
Sebenarnya dalam museum ini juga tersimpan jangkar lainnya yang juga menjadi peninggalan tentara Tar-tar. Malahan jangkar itu lebih panjang dan besar. Tetapi bagian tertentu dari jangkar itu telah rusak karena usia. Anda bisa melihat jangkar ini di lantai sebelum masuk Museum Kambang Putih.
Penjelasan Pak Rony tentang kalpataru Sunan Bonang dan jangkar kapal tentara tar-tar ternyata menjadi informasi yang sangat berharga bagi saya. Mendatangi langsung jejak-jejak sejarah masa silam itu bukan saja menambah wawasan sejarah namun agar kita tak bosan dengan hanya belajar sejarah melalui buku-buku pelajaran di sekolah.
Nah, tugas Kemenparekraf (bersama-sama instansi terkait) sekarang adalah bagaimana membantu memfasilitasi anak-anak didik, penikmat sejarah atau wisatawan umum untuk lebih memilih dan menyukai objek wisata yang berupa warisan sejarah bangsa itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H