Mohon tunggu...
Mawan Sidarta S.P.
Mawan Sidarta S.P. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lifelong learner, Penyuka traveling, Pemerhati sejarah (purbakala) - lingkungan - masalah sosial - kebudayaan.

Lulusan S1 Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Jember. Pernah bekerja di perusahaan eksploitasi kayu hutan (logging operation) di Sampit (Kalimantan Tengah) dan Jakarta, Projek Asian Development Bank (ADB) pendampingan petani karet di Kuala Kurun (Kalimantan Tengah), PT. Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) Surabaya. Sekarang berwirausaha kecil-kecilan di rumah. E-mail : mawansidarta@yahoo.co.id atau mawansidarta01@gmail.com https://www.youtube.com/channel/UCW6t_nUm2OIfGuP8dfGDIAg https://www.instagram.com/mawansidarta https://www.facebook.com/mawan.sidarta https://twitter.com/MawanSidarta1

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sawunggaling, Si Pitungnya Surabaya

11 Februari 2015   18:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:26 8300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_396155" align="aligncenter" width="500" caption="Pusara Raden Sawunggaling di Surabaya"][/caption]

Saat tengah asyik berburu, Jayengrono (Jangrono) terkejut. Hatinya berkecamuk dan berdebar-debar ketika melihat kemolekan Roro Blangah (Dewi Sangkrah). Gelora asmaranya mulai memuncak dan tak tertahankan lagi. Inikah yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama itu.

Jayengrono yang adipati Surabaya itu tak menyangka kalau di pinggiran hutan Surabaya yang kala itu masih berupa rimba belantara yang sangat angker ternyata hidup sebuah keluarga dengan anak gadisnya yang cantik jelita.

Dewi Sangkrah demikian nama gadis jelita yang hidup di pinggiran Desa Lidah Wetan yang dulu bernama Wlidah Donowati itu. Dewi Sangkrah menjadi putri (angkat) Mbah Buyut Suruh dan Wangsadrana (Karyosentono).

Setelah menjalin hubungan asmara dengan Dewi Sangkrah, sang adipati yang cukup lama menduda karena ditinggal istri pertamanya itu akhirnya melamar Dewi Sangkrah. Dari hasil perkawinan keduanya kemudian lahir Joko Berek atau Raden Sawunggaling.

Asal tahu saja, setelah mengawini Dewi Sangkrah hingga membuahkan keturunan bernama Sawunggaling, Tumenggung Jayengrono meninggalkan Dewi Sangkrah dan keluarganya untuk waktu yang cukup lama.

Beliau lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus Surabaya. Maklum namanya juga seorang adipati tentu kesibukannya melebihi rakyat biasa.

Ketika beranjak dewasa Sawunggaling mulai bertanya kepada ibundanya siapa dan di mana ayah kandungnya berada. Dengan serta merta Dewi Sangkrah menjawab kalau sang ayah adalah seorang pembesar (adipati/tumenggung) di Surabaya.

Nah untuk bisa menemui beliau sang ibu berpesan agar Sawunggaling mengenakan “Cinde Puspita” (selendang tanda cinta) karena dengan selendang itu akan menjadi bukti nyata kalau Sawunggaling adalah anak kandung yang telah lama ditinggalkannya.

Untuk bertemu dengan sang ayah tidaklah muda. Sawunggaling harus beradu kesaktian dulu dengan Sawungkarna yang tak lain adalah saudara tirinya sendiri yakni anak Jayengrono dari hasil perkawinannya dengan istri pertama.

Pertarungan sengit antara hidup dan mati tak bisa dielakkan lagi. Sebelum terjadi akibat buruk yang lebih jauh maka Jayengrono melerai pertikaian itu. Beliau mengakui kalau Sawunggalinglah yang pantas menggantikan kedudukannya menjadi adipati di Surabaya.

Kira-kira seperti itu cuplikan cerita tutur Raden Sawunggaling dari waktu ke waktu. Kisah tentang Raden Sawunggaling sepertinya tak berbeda jauh dengan kisah kepahlawanan Si Pitung dari Jakarta.

[caption id="attachment_396157" align="aligncenter" width="400" caption="Cak Baidhowi, sang juru pelihara makam Sawunggaling"]

14236264601745868320
14236264601745868320
[/caption]

Dulu, kisah Sawunggaling bisa saya nikmati melalui pergelaran Ludruk atau Ketoprak. Lakon Sawunggaling merupakan acara favorit di TVRI (Jatim) saat itu. Kini tayangan Ludruk atau Ketoprak dengan lakon cerita rakyat seperti Sawunggaling sudah jarang kita temukan. Bahkan nyaris tak ada.

Menurut catatan sejarah, Raden Sawunggaling merupakan adipati Surabaya yang berani melawan Belanda. Beliau hidup pada kurun waktu antara tahun 1600 – 1700 an. Kini kompleks makam beliau banyak diziarahi orang.

Sawunggaling seorang pahlawan yang unik. Nama asli beliau sebenarnya Joko Berek. Sawunggalingmerupakan nama ayam jago beliau. Kegemaran beliau sejak masih muda adalah bermain adu ayam jago (sabung).

Konon berkat kegemarannya bermain adu ayam jago itulah yang mengantarkan beliau bertemu dengan Jayengrono, seorang adipati Surabaya yang tak lain ayah kandungnya sendiri.

Bagi Anda yang suka berwisata sejarah dan kebetulan melancong ke Surabaya tak ada salahnya meluangkan waktu untuk mampir ke kompleks makam Raden Sawunggaling. Makam beliau terletak di Desa Lidah Wetan IV Surabaya.

[caption id="attachment_396159" align="aligncenter" width="400" caption="Makam Sawunggaling dicanangkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemkot Surabaya"]

14236266431743255662
14236266431743255662
[/caption]

Pemerintah Kota Surabaya telah menetapkan kompleks makam Raden Sawunggaling sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilindungi.

Saat saya bertandang ke sana pada pertengahan September 2014 yang lalu, suasana di sekitar kompleks makam Sawunggaling tampak cukup ramai.

Terlihat beberapa orang sedang sibuk mengerjakan panggung. Sementara beberapa orang lainnya tengah asyik mendekor panggung itu.

Sebelum masuk kompleks makam, Anda akan menemukan gapura dengan gaya yang unik. Setiap tahun tepatnya pada bulan September, pengelolah situs makam Raden Sawunggaling menyelenggarakan gelar budaya.

[caption id="attachment_396161" align="aligncenter" width="500" caption="Makam kakek Sawunggaling, nenek, ibu dan sahabatnya"]

14236268611277426153
14236268611277426153
[/caption]

Acara biasanya berupa karnaval dan napak tilas mengenang perjuangan Raden Sawunggaling. Malam harinya diadakan pergelaran Wayang Kulit semalam suntuk.

Saat pelaksanaan gelar budaya Raden Sawunggaling, Anda akan menyaksikan kebiasaan yang terpelihara hingga sekarang,para warga berduyun-duyun membawa nasi tumpeng menuju lokasi perayaan.

Uniknya, saat membuat nasi tumpeng tak boleh dicicipi sebab bila itu dilakukan maka tumpeng akan tumpah dengan sendirinya. Seolah ada saja rintangannya hingga menyebabkan tumpeng itu terjatuh.

[caption id="attachment_396162" align="aligncenter" width="400" caption="Jalan menuju kompleks makam Sawunggaling di kawasan Lidah Surabaya"]

1423627122835586412
1423627122835586412
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun