Mohon tunggu...
Mawalu
Mawalu Mohon Tunggu... Swasta -

Mawalu

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pemindahan Ibukota Negara ke Palangkaraya, Strategi Jokowi Mengatasi Radikalisme

10 April 2017   21:14 Diperbarui: 15 April 2017   20:00 6326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Jakarta saat ini (dokpri)"][/caption]Rencana pemindahan ibu kota negara dari Jakarta kini bergulir lagi. Jakarta yang lahir pada tanggal 22 Juni 1527 yang silam dulu awalnya adalah kota dagang Batavia. Seiring dengan perkembangan jaman yang semakin maju dibidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi dan menjadi ibukota negara Indonesia, Jakarta pun berkembang pesat tak terkendali.

Mengapa Harus Pindah Dari Jakarta?

Dulu kota New York dibangun oleh Belanda bersamaan waktunya Belanda membangun Batavia dulu. Setelah New York lepas, hanya Batavia saja yang masih tersisa dan masih dipertahankan oleh Belanda selama 350 tahun. Daerah Kota Tua di Jakarta Utara adalah saksi bisu masa kejayaan Belanda di Batavia dulu.

Namun sepeninggal Belanda, Jakarta jadi rusak parah. Pemerintah saat itu gelap mata bangun sana sini tanpa memperdulikan lagi sistem pengairan yang telah dibangun susah payah oleh para kompeni dulu.

Pembangunan dihajar membabi buta sehingga Jakarta pun tak ayal lagi jadi hutan beton dan aspal. Struktur dan kontur tanahnya pun sudah tak mampu lagi meresap air, dam-dam yang dibangun Belanda dulu banyak yang sudah berubah fungsi, hanya pintu air Manggarai saja yang tersisa, itu pun karena dekat dengan Istana Negara, maka mereka tak berani mengubah fungsinya karena takut Istana Negara kebanjiran.

Jumlah penduduk Jakarta saat ini sekitar 15 ribu jiwa. Dengan luas wilayahnya yang hanya 661,52 kilometer persegi, artinya kepadatan penduduknya dikisaran 22.675 koma sekian jiwa per kilometer persegi. Idealnya, satu hektare seharusnya dihuni kurang dari 100 orang, tapi di Jakarta dipadati lebih dari 250 orang, sehingga koefisien dasar bangunan pun jadi tak ideal lagi.

Sejak dulu Jakarta tidak disiapkan secara matang untuk menjadi Ibukota. Beban Jakarta pun semakin berat sebagai ibukota negara, sudah sangat padat, dempet-dempetan, himpit-himpitan. Tak ayal lagi kesenjangan sosial pun kian tajam, kriminalitas tinggi, taraf kesehatan menurun, gangguan jiwa pun meningkat.

Bisa jadi dalam 10 sampai 20 tahun kedepan, kendaraan di Jakarta tidak bisa bergerak lagi karena lertumbuhan kendaraan mencapai 10 hingga 15 persen per tahun, itu belum termasuk dan tingginya populasi di ibukota.

Pada era Gubernur Ali Sadikin ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dulu, Jakarta pernah dibenahi dengan tangan besi. Namun akibat pola pembangunan Orde Baru yang sentralistik di pulau Jawa dan Jakarta, Ali Sadikin pun tak kuasa menahan laju pembangunan yang tak terbendung sehingga mengakibatkan Jakarta menjadi kota yang morat-marit.

Kondisi Jakarta saat ini sudah tidak kondusif dan tak memadai lagi sebagai ibukota negara. Kota ini menanggung beban sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat kegiatan politik dan ekonomi. Sudah saatnya Indonesia butuh pusat pemerintahan baru seperti yang dilakukan Malaysia, Amerika, Brasil, Australia dan 19 negara lainnya telah berhasil memindahkan Ibukota negara mereka.

Mengapa Palangkaraya

Penegasan Presiden Jokowi yang akan memindahkan pusat pemerintahan RI dari Jakarta ke Palangkaraya yang dijuluki Bumi Tambun Bungai-Bumi Pancasila itu adalah sangat tepat.

Palangkaraya yang luasnya 2.678,51 km persegi adalah pulau terbesar di Indonesia dan letaknya tepat berada di tengah-tengah gugus kepulauan Indonesia. Lahannya pun masih sangat luas yang belum tergarap. Selain itu Palangkaraya juga aman dari gempa, karena gugusan kepulauan Kalimantan bukan jalur lintasan gempa.

Biaya yang dibutuhkan untuk perpindahan Ibukota negara Indonesia memang pastinya akan tinggi. Namun patut diingat bahwa yang dipindahkan hanya pusat pemerintahannya saja dimana semua lembaga negara dipusatkan pada satu lokasi, bukan memboyong semua yang ada di jakarta ke Palangkaraya sana.

Jakarta masih tetap sebagai pusat bisnis, hanya pusat pemerintahan negara yang dipindah. Inggris, Jerman, Italia, Rusia, Australia, China, India, Kanada dan Amerika Serikat telah menerapkan strategi ini dengan memisahkan pusat pemerintahan dengan sentra bisnis.

Justru lebih rugi banyak jika tetap mempertahankan Jakarta sebagai Ibukota negara karena Jakarta sudah tidak ideal lagi sebagai ibu kota negara. Kota ini menyimpan segudang masalah akibat dari kepadatan penduduk yang tak terbendung.

Sebagai ibukota negara, lebih dari 80% uang yang ada di Indonesia beredar di Jakarta sebagai pusat bisnis. Itulah sebabnya arus urbanisasi dari daerah ke Jakarta sangat tinggi.

Jika Jakarta terus dibiarkan jadi ibukota, maka akan ada banyak kerugian yang diderita negara. Contoh kecilnya saja, ada sekitar 6,5 milyar liter BBM dengan nilai sekitar Rp 30 trilyun yang dihabiskan oleh warga Jakarta setiap tahun.

Dan yang paling terpenting dari semua itu, strategi Presiden Jokowi memindahkan ibukota negara ke Palangkaraya untuk mengatasi gerakan radikalisme dan intoleransi yang kini kian menjamur dan merajalela tak terkendali di Jakarta. Masyarakat Kalimantan pada umumnya, dikenal menjunjung tinggi toleransi dan keberagaman. Kaum radikal tidak akan diterima disana.

Oleh karena itu, biarlah Jakarta cukup menjadi pusat bisnis saja. Untuk pusat pemerintahan, sebaiknya segera dipindahkan ke Palangkaraya.

Salam Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun