Melihat hadirnya politisi gaek Amien Rais dalam aksi unjuk rasa gabungan ormas Islam hari ini aku jadi ingat sosok seorang Soe Hok Gie. Ia pernah menulis dalam buku hariannya,"Seorang filsuf Yunani pernah menulis, nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua."
Soe Hok Gie adalah pembangkang yang melegenda, pemberontak sejati, seorang aktivis yang menentang kediktatoran pemerintah pada masanya. Ia meninggal di usia muda, sehari menjelang ulang tahunnya yang ke-26 tahun di puncak gunung Semeru.
Selain aktivis kampus, Soe Hok Gie adalah mahasiswa yang cerdas. Ia tekun belajar dan rajin baca banyak buku untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya dengan caranya sendiri. Dalam kesehariannya sebagai anak kampus, Soe Hok Gie juga dekat dengan alam. Ia aktif di Mapala dan gemar melakukan aktifitas naik gunung, dan sebagai lelaki tulen, Soe Hok Gie juga tak lupa pacaran dengan kekasih pujaan hatinya.
Dalam dunia kampus ada tiga jenis Mahasiswa. Jenis yang pertama adalah jenis Mahasiswa Akademis. Golongan mahasiwa ini adalah jenis mahasiswa kutu buku. Motivasi mereka hanya satu, yaitu fokus di kuliah. Mereka datang, duduk, belajar, menyimak ucapan Dosen dengan penuh konsentrasi, dan betah berlama-lama di perpustakaan hanya untuk mencari referensi untuk menyelesaikan tugas-tugas dari Dosen.
Sekalipun bumi berguncang, matahari pun tak bersinar lagi, mereka akan tetap terus belajar dan belajar. Apapun yang terjadi, sekalipun negara dalam kondisi darurat, ilmu pengetahuan tetap menjadi pegangan hidup dan prioritas mereka.
Mereka rajin kuliah dan belajar mati-matian agar bisa dapat nilai A dalam setiap mata kuliah, lulus dengan kategori cumlaude dan diwisuda tepat waktu agar bangga orang tua mereka dan kemudian meniti karir demi masa depan yang cerah dan gemilang.
Jenis yang kedua yaitu jenis mahasiswa aktivis kampus. Mahasiswa golongan ini sering bikin pusing Dosen. Mereka jarang masuk kuliah, lebih senang nongkrong di ruang Senat, bergerombol dan berdiskusi tentang masalah-masalah politik kekinian. Mereka adalah tipe mahasiswa yang kritis, tajam, dan memiliki karakter pemberontak.
Perjuangan mereka murni bukan untuk kepentingan mereka, melainkan untuk tujuan yang lebih besar, yaitu demi kemaslahatan bangsa ini. Mereka tak perduli kuliah mereka terbengkalai, nilai mereka anjlok. Jenis mahasiswa ini adalah jenis mahasiswa abadi, namun itu bukan masalah yang besar bagi mereka karena bagi mereka perjuangan untuk kesejahteraan rakyat diatas segala-galanya.
Jenis yang ketiga yaitu gabungan kedua jenis diatas, yaitu akademis dan aktivis. Soe Hok Gie masuk dalam kategori mahasiswa jenis ini. Ia  mampu mengakomodir dan menyeimbangkan keduanya, aktivis kampus tapi tekun belajar  untuk mengasah pola berpikir yang cerdas, tajam, dan kritis.
Mahasiswa jenis ini berprinsip bahwa mereka tak akan mungkin bisa tajam mengkritisi pemerintah kalau isi kepala kosong akan ilmu pengetahuan dan minim wawasan. Wawasan yang luas dan ilmu tentang kehidupan bukan hanya diperoleh di bangku kuliah saja, akan tetapi juga bisa dengan cara baca banyak buku dan  turun ke jalan mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat.
Dulu dijaman Soeharto ada yang namanya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kampus (NKK/BKK). Ini salah satu strategi Soeharto untuk membungkam mahasiswa dan meredam kekuatan gerakan mereka agar tak mampu menggempur kebijakan-kebijakan pemerintahannya.
Soeharto menuangkan NKK/BKK itu melalui tangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu yang disundul dalam SK Mendikbud No.0156/U/1978 tentang NKK dan No.037/U/1979 mengenai BKK. Soeharto ingin mahasiswa harus dikembalikan ke kampus dan disterilisasi, enggak usah latah sok-sokkan ngurusin politik karena itu bukan dunia mereka.
Namun antitesis doktrin Soeharto kala itu justru enggak mempan. Mana bisa mengekang mahasiswa? Mahasiswa tak bisa dikerangkeng. Jiwa mereka bebas dan lepas merdeka. Reformasi 1998 adalah buktinya. Tumbangnya Soeharto dari kursi orang nomor satu di negeri ini adalah bukti kuatnya jiwa pemberontak mahasiswa yang frustasi melihat penderitaan rakyat.
Soeharto lupa bahwa mahasiswa hanya bisa dibungkam sampai tak berdenyut lagi jika sistem politik, ekonomi, dan sistem pemerintahan berjalan dengan semestinya dan sesuai koridornya, transparan, adil merata terhadap rakyatnya. Dengan kondisi demikian maka mahasiswa tak punya kekuatan lagi untuk turun ke jalan. Mereka hanya belajar saja di kampus untuk mempersiapkan masa depan mereka.
Mahasiswa bukan politisi busuk itu yang menunggangi ormas Islam sebagai senjata pemusnah massal terhadap rivalnya. Ketika kepentingan para politisi busuk itu terpenuhi, para pejabat negara dijilat sampai bersih tak tersisa, namun manakala kepentingan mereka tak terakomodir, maka mereka bisa berubah wajah, berkamuflase dan bermetamorfosa sesuai perkembangan jaman.
Bila dulu kekuatan dan kekuasaan hanya bisa dijawab dengan todongan senjata dibelakang batok kepala, maka kini mereka datang dengan topeng agama dan sosial kultur masyarakat madani. Politisi seperti ini adalah politisi burung Nazar pemakan bangkai.
Mulut mereka menyeruak bau busuk seperti layaknya bau bangkai dari nafas burung nazar yang berpesta pora melahap tulang belulang dan bangkai yang berserakan di padang gurun. Politisi model begini tak pantas dan tak layak diberi panggung di negeri Bhineka Tunggal Ika ini.
Change is the law of life. And those who look only to the past or present are certain to miss the future (John F. Kennedy)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H