Haris Azhar akhirnya dipidanakan oleh BNN, Polri, dan TNI. Ketiga Institusi raksasa ini melaporkan Haris Azhar ke Bareskrim karena (dugaan) pencemaran nama baik, fitnah, dan pelanggaran UU ITE.
Haris Azhar yang merupakan Koordinator sebuah LSM yang ditakuti di negeri ini, Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontrasS) harus menelan pil pahit. Keinginannya untuk memberantas narkoba dan menentang hukuman mati berpotensi membuatnya masuk bui. Ya iyalah, apalah artinya seorang Koordinator LSM yang dikepret oleh tiga Predator (bukan buaya lagi) macam BNN, POLRI, dan TNI itu?
Anyhow, tentunya ada sebab musababnya kenapa Haris Azhar harus dikriminalisasikan, yaitu kebenaran cerita yang belum tentu dapat dipastikan kebenarannya, terkesan sumir, dan amatir, serta unsur pencemaran nama baik terhadap Institusi negara.
Ditulisan ini, aku tak membahas tentang benar atau tidak cerita Freddy Budiman itu, namun aku tertarik untuk mengupas tuntas unsur pencemaran nama baik dan unsur fitnah terhadap Institusi BNN, POLRI, dan TNI, seperti halnya mengupas bawang bombay helai demi helai.
Berdasarkan pengamatan dan hasil bedah analisa tulisannya Haris Azhar yang diposting di media sosial Facebook dan menjadi viral itu, bahwa indikasi adanya dugaan pencemaran nama baik dan unsur fitnah yang dilakukan oleh Haris Azhar itu, memang ada, yaitu termaktub dengan jelas dan gamblang di paragraph pertama, yaitu sebagai berikut;
“Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukan karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secara komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini”.
Kalimat yang aku tebalin itu sudah menunjukan unsur yang mengandung pelecehan terhadap institusi negara. Bagaimana mungkin Haris Azhar bisa begitu meyakini bahwa eksekusi hukuman mati itu hanyalah bentuk ugal-ugalan popularitas pemerintah dan institusi negara semata, bukan karena upaya keadilan?
Eksekusi hukuman mati itu dilaksanakan oleh negara melalui berbagai tahapan yang melibatkan Presiden, BNN, Polri, dan Kejaksaan Agung. Bukankah istilah ugal-ugalan popularitas semata adalah bentuk pencemaran nama baik Institusi negara?
Lalu yang berikut, di paragraph kedua, coba perhatikan, disitu Haris Azhar (bukan Freddy Budiman) mengungkapkan bahwa;
“saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015)”.
Bagaimana mungkin si Haris Azhar ini bisa mengetahui dan begitu meyakini bahwa para terpidana mati adalah korban kasus rekayasa? Apaakah ia diberitahu oleh si perekayasa kasus atau apakah ia punya bukti otentik untuk menguatkan pernyataannya itu?